Tuesday 5 February 2019


GARA-GARA “GAME ON LINE”

            Hari ini Anton tidak masuk sekolah. Ia memang berangkat seperti biasa namun tidak pernah sampai ke sekolah. Kemana? Anton pergi ke tempat game on line yang lokasinya tidak jauh dari sekolah.
            Ya, Anton sudah mantap kalau hari ini ia bakal bolos sekolah untuk pergi ke tempat game on line. Ia masih penasaran dengan permainan kemarin sehingga hari ini ia merencanakan untuk kembali ke tempat permainan tersebut. 
            Seperti biasa Anton diantar ayahnya berangkat sekolah. Ayahnya tidak menaruh curiga sedikitpun. Anton turun di depan pintu gerbang sekolah lalu pura-pura masuk ke halaman sekolah. Akan tetapi setelah ayahnya berlalu, ia segera ke luar dari halaman sekolah dengan santai seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Kemudian ia membuka baju seragamnya lalu memasukkan ke dalam tas. Dari rumah, Anton sudah memakai kaos sehingga ia tidak terlalu sulit untuk mengganti baju seragam dengan kaos. Setelah dirasa aman, Anton segera menuju lokasi game on line.
            Tanpa disadari oleh Anton, ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Anton. Ia adalah Pak Abdullah Kepala SD Sukadamai. Pak Abdullah sengaja tidak menegur Anton secara langsung. Beliau ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Anton berikutnya.
            Sementara itu, Anton yang merasa yakin bahwa apa yang dilakukan tidak diketahui orang, segera bergegas menuju ke warnet XYZ, tempat ia akan menuntaskan hasrat bermain gamesnya. Sesampai di warnet, ia segera mencari tempat yang kemarin ia gunakan. Suasana warnet cukup sepi karena hari itu memang bukan hari libur.
Saat Anton masuk petugas bertanya sinkat, “Nggak sekolah, Dik?”
            “Libur.” Jawab Anton singkat pula.
            Tak berapa lama kemudian Anton sudah duduk di depan komputer. Tanpa ia sadari Pak Abdullah sudah sampai juga di warnet XYZ. Beliau sengaja membiarkan Anton untuk menyalakan komputernya dulu. Pak Abdullah ingin tahu secara langsung apa yang dilakukan Anton.
            Selang beberapa waktu kemudian, dan setelah yakin apa yang dilakukan oleh Anton, Pak Adullah segera menuju ke tempat Anton yang sedang asyik bermain.
            “Selamat pagi, Anton...” sapa Pak Abdullah pelan.
            Anton yang sedang asyik memulai permainannya tersentak kaget. Ia hapal betul dengan suara orang yang menyapanya tersebut. Dengan suara gemetar, Anton menjawab sapaan Pak Abdullah.
            “Se...la...mat... pa...pa...gi, Pak.”
            “Sedang apa Anton?” tanya Pak Abdullah penuh selidik.
            “Main games on line, Pak.” Jawab Anton dengan rasa takut.
            “Kenapa tidak sekolah, Anton?” tanya Pak Abdullah selanjutnya. Anton tertunduk ketakutan dan tak lagi berani menjawab.
            “Ayo sekarang kenakan baju seragammu dan kembali ke sekolah. Sewa gamesnya biar Bapak yang bayar.”
            Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Anton tak berani berkutik. Ia hanya menurut apa yang dikatakan Pak Abdullah. Ia segera mengenakan baju seragamnya dan mengikuti Pak Abdullah kembali ke sekolah. Sesampai di sekolah Anton diajak ke ruang Kepala Sekolah dan dinasihati oleh Pak Abdullah. Selain itu, Pak Abdullah juga segera menelepon Ayah Anton supaya datang ke sekolah.
            “Selamat pagi Bapak. Mohon maaf jika pagi ini Bapak saya minta untuk datang ke sekolah.”
            “Ya, Bapak Kepala Sekolah. Apakah ada sesuatu yang penting sehingga saya diminta datang ke sekolah?”
            “Begini Bapak. Tadi saya mendapati Anton putra Bapak sedang bermain games di warnet XYZ. Padahal ini jam sekolah.”
            Mendengar penjelasan Kepala Sekolah tersebut, ayah Anton segera menatap putranya dalam-dalam. Anton yang merasa bersalah segera menundukkan kepala dan mulai menangis. Sambil terbata-bata, Anton minta maaf pada ayahnya dan kepada Kepala Sekolah.
            “Maafkan Anton Ayah. Maafkan Anton Bapak Kepala Sekolah. Anton berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan ini. Anton janji..!”
            “Baik Anton, Bapak maafkan. Tapi sekarang lebih baik Anton ikut pulang bersama Ayah untuk merenungkan perbuatan Anton hari ini. Selain itu Anton juga supaya membuat niat ke depan atau janji supaya tidak mengulangi perbuatan hari ini. Semua ditulis tangan dengan rapi ditandatangani Anton dan orang tua. Besok pagi diserahkan kepada Bapak.”
            “Ya, Pak terima kasih.” 
            Anton benar-benar menyesal atas apa yang sudah ia lakukan hari itu. Ia berjanji untuk rajin belajar. Ia juga berjanji untuk tidak membolos sekolah lagi. Pengalaman hari itu sungguh menjadi pengalaman yang sangat berharga buat Anton.
           

           


PENYESALAN KAKEK MARJO

            Sudah satu bulan ini istri Kakek Marjo, Mbok Marjo, terbaring lemah di sebuah rumah sakit di kota. Dari waktu satu bulan itu, waktu tiga minggu dihabiskan di ruang ICU. Ya, keadaannya memang sudah cukup kritis. Penyakit diabet yang dideritanya selama ini telah menyebabkan komplikasi berbagai penyakit. Ginjalnya mulai tidak berfungsi dengan baik, pernapasannya pun tersumbat sehingga harus dibuatkan lubang pernapasan buatan di leher, tensinya pun cenderung tinggi, juga jantungnya tak normal lagi.
Segala upaya telah dilakukan oleh anak-anaknya. Segala daya juga sudah dilakukan oleh dokter rumah sakit tersebut. Setelah tiga minggu terbaring di ruang ICU, akhirnya dokter pun angkat tangan. Namun, dengan pertimbangan tertentu pihak keluarga menawar agar ibunya masih diperbolehkan dirawat di rumah sakit itu. Tentu  saja dengan konsekuensi harus keluar biaya lebih banyak lagi.
Tapi yang lebih menyedihkan, selama Mbok Marjo di rumah sakit, belum sekalipun Kakek Marjo menjenguknya. Bukan karena Kakek Marjo tidak mau, ia sangat ingin menjenguk istrinya yang ia cintai. Yang telah menemani hidupnya dalam untung dan malang selama ini. Tapi anak-anaknya selalu melarangnya. Bahkan setiap kali Kakek Marjo menanyakan kondisi istrinya, anak-anaknya selalu mengatakan bahwa Mbok Marjo sudah sehat. Sebentar lagi juga pulang.
Pernah suatu hari Kakek Marjo melontarkan keinginannya untuk ikut membesuk istrinya.
“Tumi, mbok saya tak ikut nengok simbokmu di rumah sakit.”
“Bapak di rumah saja. Simbok sudah sehat. Lagian jalan masuk ke rumah sakit jauh nanti Bapak malah sakit. Kalau Bapak sakit siapa yang repot? Aku juga kan?”
“Tapi aku...”
“Sudah! Bentar lagi simbok juga pulang. Bapak di rumah aja berdoa untuk simbok!”
Demikian setiap kali Tuminah dan saudara-saudaranya selalu berbohong atas kondisi ibunya kepada bapaknya. Mereka berpikir jika Pak Marjo ikut ke rumah sakit, atau tahu kondisi Mbok Marjo yang sebenarnya Pak Marjo akan shok dan jatuh sakit. Maka mereka sepakat untuk berbohong tentang kondisi ibunya.
Satu hal yang tidak mereka ketahui adalah ikatan batin Mbok Marjo dan Pak Marjo sebagai suami istri puluhan tahun begitu kuat. Dalam kebisuan di pembaringan rumah sakit, Mbok Marjo sebenarnya selalu berharap untuk bisa bertemu dengan suaminya. Sementara itu Pak Marjo pun sangat ingin bertemu dengan istrinya. Tapi seperti ada benteng yang kuat yang menghalangi keinginan mereka untuk bertemu. Entah apa yang sebenarnya terjadi sehingga anak-anak mereka begitu kekeh untuk tidak mengijinkan Pak Marjo menjenguk istrinya. Apakah ada hubungannya dengan peristiwa sekian tahun yang lalu?
Waktu itu Tuminah masih belia. Ia jatuh cinta pada salah satu karyawan Pak Marjo. Karena perbedaan status maka hubungan cinta mereka dilarang oleh orang tuanya. Terlebih Mbok Marjo. Ia tidak ingin anaknya hanya mendapatkan karyawannya sendiri. Tapi cinta memang buta, Tuminah tetap menjalin asmara dengan lelaki itu. Dan pada akhirnya, Pak Marjo dan istrinya pun harus mengalah dan terpaksa merestui hubungan mereka.
Apakah ada hubungannya peristiwa yang dialami Pak Marjo dan Mbok Marjo dengan peristiwa itu? Hanya Tuhan yang tahu.
Benar juga apa yang dikatakan Tuminah dan saudara-saudaranya bahwa simboknya segera pulang. Mbok Marjo pun akhirnya pulang untuk bertemu dengan Pak Marjo. Hanya saja kepulangannya kali ini diantar dengan ambulan jenazah.
Ya, Mbok Marjo sudah menyelesaikan tugasnya di dunia. Walau di akhir hayatnya ia terpaksa menunggu kekasih hatinya yang tak kunjung menjenguknya. Akhirnya Mbok Marjo pun tak lagi kuasa menanti, maka pulanglah ia dalam kebekuan yang dingin dalam kematian yang pasti.
“Jadi kalian selama ini sudah bohong pada Bapakmu!” Demikian hal yang terucap dari mulut Pak Marjo begitu tahu istrinya sudah meninggal. Air matanya mengalir deras dari kedua matanya yang sudah mulai rabun dan meluncur dikeriput kulit wajahnya. Ia begitu terpukul dan berduka.
Anak-anaknya yang selama ini memiliki sejuta alasan untuk melarang Pak Marjo menjenguk Bu Marjo kehabisan kata-kata. Mereka terdiam sambil terus meneteskan air mata duka dan penyesalan serta rasa bersalah. Tapi semua sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur. Yang tinggal adalah kebekuan jasad Mbok Marjo dan hati Pak Marjo.
***
Tiba-tiba Pak Marjo teringat masa-masa muda dulu. Masa di mana Pak Marjo dan Mbok Marjo berjuang bersama mengarungi bahtera rumah tangga. Ia masih ingat betul saat usahanya berjaya. Pak Marjo memiliki usaha di bidang transportasi, sedangkan Mbok Marjo memiliki usaha dagang. Karena usaha mereka itu pulalah yang akhirnya mempertemukan dan mempersatukan mereka.
Awalnya Mbok Marjo yang memiliki nama asli Suminten hanyalah pelanggan Pak Marjo yang menjadi pengemudi angkot. Karena sering bertemu dan bergaul itulah membuat Marjo dan Suminten saling jatuh cinta. Bak gayung bersambut, cinta mereka pun mendapat restu dari orang tua masing-masing.
***
Lamunan Pak Marjo pun buyar seiring dengan segera akan diberangkatkan jenazah Mbok Marjo ke pemakaman. Dengan tertatih-tatih Pak Marjo ikut mengantar istrinya ke pemakaman. Anak-anaknya tak satupun yang berani melarangnya. Mereka diam dalam kebisuan di antara lantunan doa-doa para pengantar jenazah.
Segala sakit dan segala derita Mbok Marjo telah sembuh. Ia kini nyenyak dalam tidur panjangnya tanpa mengeluh sakit, tanpa obat, dan tanpa infus. Tinggal Pak Marjo yang meratapi kesendiriannya serta rasa penyesalan karena tidak sempat menjenguk istrinya waktu di rumah sakit.
Hari berganti. Kemurungan hati Pak Marjo tetap berlanjut. Bahkan Pak Marjo tidak mau makan. Segala bujuk rayu anak-anak dan menantunya tak menggoyahkan hatinya yang masgul. Tak ada obat yang mampu mengobati hatinya yang luka. Hanya waktu yang akan menyelesaikan semua perkara.

PEMBALASAN TIKUS

Warga Karang Tega mempunyai kebiasaan membuang bangkai tikus di jalan raya. Mereka belum merasa puas jika tikus-tikus yang berhasil mereka tangkap belum terlindas roda kendaraan yang lalu-lalang di daerah mereka. Sebagian besar warga mempunyai kesepahaman yang sama bahwa tikus-tikus itu memang pantas mati dengan cara demikian. Karena tikus-tikus itu telah mencuri makanan mereka, melobangi dinding mereka, mengotori rumah mereka, dan seabrek alasan lain untuk pembenaran atas sikap mereka pada bangkai-bangkai tikus itu.
Meskipun demikian, tidak semua warga Karang Tega mempunyai kebiasaan membuang bangkai tikus di jalan raya. Salah satu warga yang tidak setuju dengan kebiasaan itu adalah keluarga Pak Kerti. Meskipun tidak setuju, Pak Kerti tidak pernah secara langsung menyampaikan ketidaksetujuannya itu kepada warga. Ia lebih senang melakukan tindakan nyata. Tanpa rasa jijik dan takut, ia mengumpulkan bangkai-bangkai tikus yang dilemparkan warga kemudian menguburnya di pekarangan belakang rumahnya atau di dekat pembuangan sampah yang letaknya juga tak terlalu jauh dengan rumahnya.
Kebiasaan Pak Kerti tersebut tentu saja menarik perhatian warga. Mereka heran mengapa Pak Kerti mau melakukan pekerjaan yang menjijikkan itu. Hingga suatu saat Pak RT mendatangi rumah Pak Kerti dan menanyakan kebiasaan Pak Kerti yang beda dengan warga-warga yang lain itu.
“Pak Kerti, mengapa sih Bapak justru mengambil bangkai-bangkai tikus yang sengaja dibuang warga ke jalan?” tanya Pak RT.
“Maaf Pak RT. Saya merasa kasihan aja dengan tikus-tikus itu.”
“Lho, bukanya tikus kan cuma binatang?” sanggah Pak RT.
“Betul Pak. Tapi tidak sepantasnya kita memperlakukan sampai seperti itu.”
“Pak Kerti, bukankah tikus-tikus itu sudah mengganggu kita semua. Selain itu, tikus-tikus itu juga dapat membawa wabah penyakit yang membahayakan buat kita semua?”
“Iya, Pak RT. Saya paham. Itu sebabnya saya lebih memilih menguburkan bangkai tikus-tikus itu daripada membiarkannya berserakan di jalan. Maaf Pak, bukan maksud saya menggurui. Bukankah kalau dilempar di jalan bangkai tikus itu justru menimbulkan bau yang tidak sedap di lingkungan kita. Selain itu, jika tikus-tikus itu terlindas ban mobil atau motor kemudian tubuhnya remuk dan mengering, maka debunya justru akan terhirup oleh kita? Dan itu justru membahayan kesehatan kita semua.”
“Terserah Pak Kerti sajalah!” Jawab Pak RT sambil meninggalkan rumah Pak Kerti.
Selain Pak RT beberapa warga yang penasaran dengan Pak Kerti juga menanyakan hal yang sama. Dan jawaban Pak Kerti pun selalu sama. Pak Kerti merasa kasihan dengan tikus-tikus yang sudah mati itu. Ia kasihan setiap kali melihat bangkai tikus terlindas roda kendaraan sehingga tubuhnya hancur.
Jadilah hampir setiap hari Pak Kerti membawa peralatan seadanya untuk mengambil bangkai tikus yang dibuang warga ke jalan lalu menguburkannya. Karena kebiasaannya itu juga Pak Kerti mendapat julukan baru, Pak Kerti Tikus. Meskipun ada  nama tikus di belakang namanya, namun Pak Kerti tidaklah seperti tikus-tikus yang lain yang suka makan uang rakyat. Yang sering disebut tikus berdasi.
Hingga suatu ketika peristiwa menghebohkan terjadi di Karang Tega. Entah dari mana asalnya, di suatu pagi buta warga Karang Tega dikejutkan dengan peristiwa aneh. Di rumah-rumah warga berserak bangkai-bangkai tikus. Di halaman rumah, di lantai, di kamar, di kamar mandi, di dapur, di hampir semua sudut ruang rumah warga terdapat bangkai-bangkai tikus dalam berbagai bentuk. Ada yang masih utuh, ada yang sudah remuk badanya. Dan pagi itu benar-benar pagi yang menghebohkan. Ibu-ibu, anak-anak menjerit-jerit ketakutan dan jijik. Mereka tidak pernah menyangka kalau akan mengalami peristiwa yang menghebohkan itu.
Hanya ada satu warga yang rumahnya tetap bersih, yaitu rumah Pak Kerti. Tak satu bangkai tikus pun ada di halaman rumahnya ataupun di dalam rumahnya. Bahkan rumah Pak Kerti nampak lebih bersih dari hari-hari sebelumnya. Ya, karena rumah warga yang lain menjadi sangat kotor oleh bangkai tikus dan bau anyir dari bangkai tikus menyengat di semua sudut Karang Tega.
Kehebohan pagi itu semakin menjadi begitu warga tahu bahwa rumah Pak Kerti terbebas dari bangkai tikus. Mereka mulai berpikir bahwa pastilah Pak Kerti yang telah melemparkan  bangkai-bangkai tikus itu ke rumah mereka. Ya..ya.. itulah kesimpulan mereka.
Warga Karang Tega tak lagi dapat berpikir jernih, bahwa betapa tidak mungkin Pak Kerti yang sudah tua itu melempar bangkai-bangkai tikus di rumah-rumah warga yang sekian banyaknya. Bahkan mereka berbondong-bondong menuju rumah Pak Kerti dengan penuh emosi.
“Pak Kerti...Pak Kerti...keluar!” demikian teriak semua warga.
“Kamu harus tanggung jawab membersihkan semua bangkai tikus di rumah warga.” Teriak warga yang lain dengan lebih lantang.
Dengan langkah pelan dan penuh tanda tanya, Pak Kerti keluar dari rumahnya. Ia nampak terheran-heran melihat banyak sekali warga desa yang berkumpul di depan rumahnya.
“Ada  apa saudara-saudara? Kenapa saudara-saudara berkumpul di depan rumah saya?” tanya Pak Kerti dengan penuh keheranan.
“Ada apa? Jangan pura-pura tidak tahu, Pak Kerti.” Teriak salah satu warga yang kebetulan berada di barisan depan.
“Lho ... lho ... lho ...! Saya memang tidak tahu.” Jawab Pak Kerti semakin bingung.
“Begini, Pak.” Jawab Pak RT yang sedari tadi diam saja. “Pagi ini rumah kami penh dengan bangkai tikus. Hampir di semua tempat ada bangkai tikus dalam berbagai bentuk. Lalu ada salah satu warga yang mengatakan bahwa rumah Pak Kerti tetap bersih tidak seperti rumah kami. Maka kami berpendapat, Pak Kertilah yang telah membuang bangkai-bangkai tikus itu ke rumah kami.”
“Ya ... ya ...!” teriak warga yang lain.
“Sabar ... saudara-saudara!” Teriak Pak Kerti dengan nada semakin heran. “Mana mungkin saya yang sudah setua ini membuang bangkai tikus sebanyak itu di rumah semua warga? Apa untungnya bagi saya melakukan semua itu? Saya tidak melakukannya saudara-saudara!”
“Kalau bukan Pak Kerti lalu siapa? Apakah mungkin bangkai itu datang sendiri ke rumah kami. Atau jangan-jangan ...?”
Semua warga memandang ke arah Pak RT. Semua bengong. Dan tanpa di komando semua warga mengatakan “Jangan-jangan...jangan-jangan...jangan-jangan...!”
Demikianlah pagi itu semakin heboh. Semua orang berbicara sendiri-sendiri “Jangan-jangan! Jangan-jangan! ...”
Melihat situasi yang semakin kacau, Pak Kerti memukul-mukul drum yang ada di depan rumahnya sambil berteriak.
“Diam semua!”
Seperti tersengat listrik, mereka terjaga dari tingkah anehnya. Mereka pun kemudian diam mendengarkan Pak Kerti.
“Saudara-saudara, saya harap mendengarkan saya dulu. Saya yakin kejadian aneh ini ada hubungannya dengan kebiasaan saudara-saudara membuang bangkai tikus di jalan. Mungkin tikus-tikus yang lain ingin membalas dendam pada saudara-saudara semua.” Pak Kerti berhenti sebentar, sambil mengatur nafasnya yang sudah terengah-engah.
“Mari kita berdoa bersama-sama mohon ampun pada Tuhan. Semoga tragedi pagi ini dapat segera berlalu. Dan yang paling penting kita tidak mengulang kebiasaan kurang baik kita.”
Tanpa dikomando semua warga duduk di halaman rumah Pak Kerti. Mereka mengambil sikap doa seperti apa yang disampaikan Pak Kerti.
“Mari saudara-saudara kita berdoa menurut keyakinan kita masing-masing. Berdoa dimulai.”
Dengan khusuk semua warga berdoa. Mereka mohon ampun kepada Tuhan karena telah bersikap semena-mena terhadap sesama makhluk Tuhan.
Luar biasa. Setelah mereka selesai berdoa, secara ajaib bangkai-bangkai tikus yang semula berserakan hilang. Tak ada lagi bangkai tikus di meja makan, di tempat tidur, di kamar mandi, atau pun di halaman. Secara ajaib semua bangkai tikus itu hilang. Seperti juga kemunculannya yang ajaib.   
Mulai saat itu kebiasaan masyarakat Karang Tega menjadi lebih baik. Mereka lebih memperhatikan kebersihan lingkungan. Dari mana bangkai tikus itu berasal? Ke mana bangkai tikus itu menghilang? Mengapa bisa begitu? Itu semua pertanyaan yang sampai saat ini tidak bisa dijawab oleh masyarakat Karang Tega.  
                                                                                                Semarang, Juni 2016


Tuesday 6 September 2016

MENYUNTING (KATA BAKU TIDAK BAKU)



MENYUNTING KARANGAN
·         KATA BAKU
·         PUNGTUASI
·         KALIMAT EFEKTIF

TUJUAN PEMBELAJARAN
a.       Mampu menemukan kesalahan ejaan, tanda baca, pilihan kata, dan keefektifan kalimat.
b.      Mampu memperbaiki kesalahan ejaan, tanda baca, pilihan kata, dan keefektifan kalimat.

PENGERTIAN KATA BAKU
KATA BAKU
Kata dan istilah baku:  kata-kata atau istilah-istilah  sesuai dengan kaidah bahasa        Indonesia yang berlaku  meliputi proses  pembentukannya,   ejaan, atau  penulisannya, (Doyin, Mukh, 2005:1)

KATA BAKU
Kata baku adalah kata yang mengikuti kaidah bahasa yang telah ditentukan. Sedangkan, kata tidak baku adalah kata yang tidak mengikuti kaidah bahasa yang berlaku

KAIDAH KEBAHASAAN
Kaidah kebahasaan tersebut dapat kita temukan dalam:
·         Buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
·         Kamus Besar Bahasa Indonesia
·         Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia

PEDOMAN UMUM EYD
o   Mengatur tentang penulisan ejaan (pemakaian huruf kapital, huruf miring, dll)
o   Pemakaian tanda baca
o   Kamus besar bahasa indonesia
o   Mengatur tentang kata dan makna kata berikut dengan pelafalan, dan pemakaiannya
o   Tata bahasa baku bahasa indonesia
o   Mengatur tentang penulisan kalimat, paragraf, sampai wacana.

CONTOH KATA BAKU/TIDAK BAKU




 
 
PUNGTUASI
Pungtuasi adalah tanda grafis (huruf) yang digunakan secara konvensional untuk memisahkan pelbagai bagian dari satuan bahasa tertulis; tanda baca.
 
CONTOH:

 

 

KALIMAT BAKU
Pada bulan pebruari yang lalu, kami mengikuti pelatihan Bahasa Indonesia di Jakarta.
ž  Pada bulan Februari yang lalu, kami mengikuti pelatihan bahasa Indonesia di Jakarta.

di Indonesia frekwensi pelatihan Bahasa Indonesia akan diperbanyak.
ž  Di Indonesia frekuensi pelatihan bahasa Indonesia akan diperbanyak.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha esa atas bimbingan dan petunjuknya.
ž   Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan petunjuk-Nya.

CONTOH PENULISAN KALIMAT
1.      Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
2.      Semua peserta daripada pertemuan itu     sudah pada hadir.
Semua peserta pertemuan itu sudah hadir.
3.      Bilang dahulu dong sama saya punya bini.
Bicarakan dahulu dengan istri saya.
4.      Panitia harus membuat laporan pertanggungan jawab kegiatan.
Panitia harus membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan.
5.      Tolong, potokopykan ijasah ini rangkap lima.
Tolong, fotokopikan ijazah ini rangkap lima!
6.      Memang kebangetan itu anak  belum mandi sudah makan gado-gado.
Memang keterlaluan anak itu belum mandi sudah makan gado-gado.