Monday 1 October 2012

NISAN

NISAN
On nisan is red it
Writing with your name clearly, mother
Under a tombstone that is
You're lying in bed panjangmu.
And if the kurindu
Not to mention I'm able to face to face
Just headstones engraved your name that
Which can be found later.
In a string of prayer is always kupanjatkan
Semogalah the Lord opened the doors of heaven buatmu
And there were the
Someday we will meet, mother.

As signs and as a reminder of the dipasanglah above the tomb of Holy Mother of nisan. Red color selected by the father, that is seen clearly. And on gravestones written clearly the name of the mother and the death.
Each time the grave of mother, I always disadarkan that there were would I is. I am not an immortal can die. And death is the one thing that will definitely be kuhadapi although some when. Every time you remember it all, I'm back on the realization that too many sins, while the virtues yet how.
Man was made from the dust of the Earth, then the man would return to dust as well.
(7) when the Lord God formed man of the dust of the ground and breathed into his nostrils the breath of life; and man became a living soul (Gen. 2: 7). That's the realization that always I found every time I pay a visit to the tomb of the Virgin. It's a realization that during kuabaikan. Especially when I remember when your Mother back at him. It's like being ordered by him that nobody knows when the time comes. (44) Consequently, also be ready, for the son of man is coming at a time when you did not expect. " (Matthew 24: 44).
That day the mother still do activities as usual. Even after a shower in the afternoon and was about to get dressed when the call of God began to be felt. And it all went by so fast. In just one night, they all end up like his will. Mother come home meet his call.

THE TRAGEDY OF THE ROSES

THE TRAGEDY OF THE ROSES

Fragrant roses spilling
From the kembangmu shell
Highlight the coolness in the low tones of love
Entwined in the flower garden

Haru biru and goes wild passions
Is a song of love in the twilight
Roses bloom fall
In the love and satisfaction of lust time

Duri-durimu still arrogantly
The arrogance that all
Behind the fragility of your love
In an instant, the bloom wither and fall to be ejected

Although the fragrance harummu
Got to decorate the recesses of my heart
Ran aground and disperse
Hit by severe winds of twilight which is a little naughty and wanton
Your life destiny fate tumbling
In the arms of a geographical dust.


Everything looks beautiful or lovely would not necessarily bring good luck and happiness. Like a sprig of flowers blooming red roses, she was so beautiful and enchanting. But if we are not careful we will pluck them out, we can hand impaled spikes. And the beauty of the Roses also reminds us that there are no eternal things. Soon, rose petals were tumbling, especially when touched hands or blown by the wind.
The glittering world often only an artificial happiness. When we are not power restraint, instead we are utilizing or "enslave" all possessions, yet wrong-wrong we are the diperbudaknya.
James in one of his letters (5: 1-6) has reminded us: "so now ye rich men, weep and howl for the miserable that will befall you! Kekayaanmu is already rotten, and your garments have been eaten a moth! Gold and silver have rusted, and their rust will be a testimony against you and will eat your flesh like fire. We have compiled a treasure on the days that are over. Indeed sounds big whoop, because ye have lifetimes of wage labourers who have reaped results, and you've got to the ears of the Lord of hosts, their complaints are menyabit panenmu. Ye have lived in luxury and dissipate on Earth, you have to satisfy your heart just like in the days of slaughter. You have to punish, even killing people is right and he can not fight you.
The enjoyment of worldly possessions such as the beauty of a rose. Behind its beauty, saved the sharp thorns but also the fragility of flower petals. Thus the enjoyment of property, have meninabobokkan us to sometimes we forget ourselves. Any ways, all the resources, and we use every effort to accumulate wealth and riches. Until we forget that what we do has to be accounted for later.
Perhaps before humans we can escape from all liability, but before him, what can we do? All the gold, all silver will testify on us on how the way we acquire it. And his testimony was not false witness!
Original
TRAGEDI BUNGA MAWAR

Wednesday 15 February 2012

TRAGEDI BUNGA MAWAR

TRAGEDI BUNGA MAWAR

Harum mawar memancar
Dari kelopak kembangmu
Sorot kesejukan dalam untaian nada kasih
Yang terjalin indah di taman bunga

Haru biru dan gegap gempita
Adalah nyanyian cinta di hari senja
Mawar mekar berguguran
Dalam kepuasan kasih dan birahi sang waktu

Duri-durimu masih pongah
Dalam kesombongan yang semu
Di balik kerapuhan cintamu
Mekar dalam sekejab, layu berguguran dan berhamburan

Walau wangi harummu
Sempat menghias relung hatiku
Kandas dan tercerai-berai
Diterpa angin senja yang sedikit nakal dan binal
Berjatuhan nasib takdir hidupmu
Dalam pelukan segumpalan debu.


    Segala sesuatu yang nampak indah atau cantik belum tentu membawa keberuntungan dan kebahagiaan. Ibarat setangkai bunga mawar merah yang sedang mekar, ia begitu cantik dan mempesona. Tetapi bila kita tidak berhati-hati saat kita hendak memetiknya, tangan kita bisa tertusuk duri. Dan kecantikan bunga mawar juga mengingatkan kita bahwa tak ada sesuatu yang abadi. Tak berapa lama kelopak mawar pun berjatuhan terlebih saat tersentuh tangan atau tertiup angin.
    Gemerlap dunia tak jarang hanya sebuah kebahagiaan semu. Saat kita tak kuasa menahan diri, bukannya kita yang memanfaatkan atau “memperbudak” segala harta benda, namun salah-salah kitalah yang diperbudaknya.
    Yakobus dalam salah satu suratnya (5:1-6)  telah mengingatkan kita: “Jadi sekarang hai kamu orang-orang kaya, menangislah dan merataplah atas sengsara yang akan menimpa kamu! Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan ngengat! Emas dan perakmu sudah berkarat, dan karatnya akan menjadi kesaksian terhadap kamu dan akan memakan dagingmu seperti api. Kamu telah mengumpulkan harta pada hari-hari yang sedang berakhir. Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu. Dalam kemewahan kamu telah hidup dan berfoya-foya di bumi, kamu telah memuaskan hatimu sama seperti pada hari-hari penyembelihan. Kamu telah menghukum, bahkan membunuh orang yang benar dan ia tidak dapat melawan kamu.
    Kenikmatan harta benda duniawi seperti keindahan sekuntum bunga mawar. Di balik keindahannya, tersimpan duri-duri yang tajam tetapi juga kerapuhan kelopak bunganya. Demikian kenikmatan harta benda dunia, telah meninabobokkan kita hingga kadang kita lupa diri. Segala cara, segala daya, dan segala upaya kita gunakan untuk menumpuk harta dan kekayaan. Hingga kita lupa bahwa apa yang kita lakukan nantinya harus dipertanggungjawabkan.
    Mungkin dihadapan manusia kita bisa luput dari segala pertanggungjawaban, tapi dihadapan-Nya apa yang dapat kita perbuat? Segala emas, segala perak akan bersaksi pada kita atas bagaimana cara kita memperolehnya. Dan kesaksiannya bukanlah saksi dusta!

NISAN

NISAN
Pada nisan  berwarna merah itu
Tertulis dengan jelas namamu, Ibu
Di bawah batu nisan itulah
Kau terbaring dalam tidur panjangmu.
Dan bila kurindu
Tak lagi aku mampu tatap wajahmu
Hanya batu nisan yang terukir namamu itulah
Yang dapat kutemui kemudian.
Dalam untaian doa yang selalu kupanjatkan
Semogalah Tuhan bukakan pintu Surga buatmu
Dan di situ jualah
Kelak kita kan bertemu, Ibu.

    Sebagai tanda dan sebagai pengingat maka dipasanglah nisan di atas makam bunda. Dipilih warna merah oleh ayah, supaya terlihat dengan jelas. Dan pada nisan itu tertulis dengan jelas nama bunda dan saat wafatnya.
    Setiap kali ke makam bunda, aku selalu disadarkan bahwa ke sana jualah kelak aku adanya. Aku bukanlah manusia abadi yang tak bisa mati. Dan kematian adalah satu hal yang pasti akan kuhadapi walau entah kapan. Setiap kali ingat semua itu, aku kembali pada kesadaran bahwa terlalu banyaklah dosa, sedangkan kebajikan belum seberapa.
    Manusia dicipta-Nya dari debu tanah, maka manusia akan kembali menjadi debu juga.
(7) ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kejadian 2:7). Itulah kesadaran yang selalu kutemukan setiap kali aku berkunjung ke makam Bunda. Sungguh sebuah kesadaran yang selama ini kuabaikan. Terlebih bila aku ingat bila Bunda kembali pada-Nya. Sungguh seperti yang disabdakan-Nya bahwa semua tak ada yang tahu kapan saatnya tiba. (44) Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga." (Matius, 24:44).
    Hari itu Bunda masih melakukan aktivitas seperti biasa. Bahkan sehabis mandi sore dan hendak berpakaian saat panggilan Tuhan mulai dirasakan. Dan semua berlalu begitu cepat. Hanya dalam waktu satu malam, semuanya berakhir seperti kehendak-Nya. Bunda pulang memenuhi panggilan-Nya.

KERIKIL KECIL

KERIKIL KECIL

Segelintir kerikil kecil
Menggelinding di jalan-jalan raya
Hitam beraspal
Yang sesak dan padat
Serta penuh debu

Dia hanya bisa menggelinding
Di sela hiruk pikuknya kehidupan
Ia tidak mampu berontak
Apalagi menolak
keganasan kehidupan ini

    Menjadi orang kecil, miskin, dan telantar tidaklah mudah. Terlebih di tengah kehidupan yang kian padat dan ramai, serta kompleks ini. Orang-orang kecil yang sudah berdiri jauh di pinggir pun masih harus menerima nasib semakin tersingkir. Itulah sebabnya mereka sering juga disebut kaum marjinal atau kaum pinggiran. Kaum yang secara tidak sadar harus selalu siap digusur dan diusir dari tanah mereka sendiri.
    Tak jarang orang-orang kecil menjadi objek pelecehan atau penghinaan. Tak mendapat pelayanan atau perlakuan yang sewajarnya adalah hal biasa. Bahkan tak jarang mereka menjadi bulan-bulanan atau menjadi kambing hitam atas segala “kejahatan” yang ada di masyarakat.
    Ambilah sebuah contoh bahwa menjadi orang miskin sering tidak mendapat pelayanan yang sewajarnya. Sebut saja Pak Mahmud salah seorang warga Cakrawala Baru yang karena kemiskinannya ia bersama keluarganya terpaksa tinggal di gubug dibawah jalan arteri. Bukanlah sebuah tempat tinggal yang layak tentunya. Ia mempunyai dua orang anak yang keduanya sedang sakit. Oleh seorang dokter yang memeriksanya kedua anak Pak Mahmud dirujuk ke sebuah rumah sakit. Genap lima hari opname di rumah sakit tersebut, kedua anak Pak Mahmud belum juga sembuh, tetapi oleh pihak rumah sakit sudah dipersilakan pulang.
    Dengan berat hati Ismatun dan Husni dibawa pulang ke gubugnya. Sampai di tempat tinggalnya yang memang tidak layak huni, Ismatun dan Husni tidak juga kunjung sembuh. Lalu mereka dirujuk ke sebuah rumahsakit daerah di kota tersebut. Dengan alasan tidak ada tempat, maka Ismatun dan Husni yang anak keluarga miskin itu tidak mendapat pelayanan kesehatan yang sewajarnya.
    Pengalaman yang menimpa Pak Mahmud dan keluarganya hanyalah salah satu contoh kejadian yang menimpa orang miskin. Masih banyak kasus yang lain yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini.
    Siapakah sebenarnya orang kecil, miskin, dan telantar itu? Menurut Pater Dr. Mateus Mali CSSR (Praba, No. 7. April 2005) belum ada batasan yang jelas-jelas jelas untuk menentukan siapa sebenarnya yang dimaksud orang kecil atau orang miskin itu. Dia mencoba merumuskan sebuah definisi sebagai berikut. Orang miskin adalah mereka yang belum atau tidak dapat memenuhi semua kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan dasar yang dimaksudkan adalah sandang, pangan, papan, kesehatan, air bersih, hiburan, dan lain sebagainya.
    Jika boleh memilih, pastilah tidak ada orang yang mau dilahirkan dalam keluarga yang miskin. Terlahir dalam keluarga kaya yang serba ada pastilah dambaan banyak orang. Bahkan ada sebuah pepatah populer yang mengatakan “kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, kalau mati masuk surga.”  Pepatah tersebut menegaskan bahwa hidup mapan secara materi adalah sebuah dambaan.
    Bila kita menengok kembali pada perumpamaan Tuhan Yesus tentang “Orang Kaya dan Lazarus”, maka sangatlah mustahil apa yang kita inginkan melalui ungkapan di atas. Karena dengan tegas Tuhan Yesus menyampaikan bahwa orang kaya tersebut masuk neraka sedangkan Lazarus yang miskin justru masuk surga. Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. (Lukas 16:22-23).
    Dengan mencermati cerita di atas, sebagai orang kecil mungkin kita boleh merasa lega. Mengapa? Karena ternyata Tuhan memperhatikan umat-Nya tidaklah dengan cara pandang manusia, yaitu melihat seseorang dari derajat, pangkat, profesi, dan hartanya. Melainkan lebih melihat eksistensi seseorang dari iman dan kemurnian hati serta jiwanya. Kita boleh saja miskin secara harta duniawi, tetapi tentunya kita tidak boleh miskin hati dan miskin iman.
    Seperti yang digambarkan dalam salib, bahwa salib itu terdiri dari bagian yang  vertikal dan  bagian yang horisontal. Bagian yang vertikal  menggambarkan hubungan manusia  dengan Tuhan Allah sebagai perwujudan dari kekayaan iman, atau manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk religius. Sedangkan  bagian yang horisontal  menggambarkan hubungan kita dengan sesama sebagai perwujudan dari kekayaan hati, atau manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial.