Friday 27 February 2015

Pengalaman Mengajar Menulis




PENGALAMAN MEMOTIVASI SISWA DALAM MENULIS CERITA
DI SMP PANGUDI LUHUR DOMENICO SAVIO
 


BAGIAN I
1.      Latar Belakang Masalah
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dikenal empat kompetensi keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut hendaknya dikembangkan secara seimbang sehingga akan dapat membantu siswa dalam kemampuan berpikir dan belajar.
Dalam tulisan ini, saya lebih menekankan pada pengalaman saya memotivasi siswa dalam aspek keterampilan menulis. Hal ini saya lakukan karena saya berpendapat bahwa siswa-siswi SMP PL Domenico Savio memiliki potensi yang cukup besar dalam menulis, namun mereka kurang menyadari dan belum mengembangkan kemampuan menulis mereka secara optimal.
Sebagai daya tarik bagi siswa agar mau menulis, maka saya mengajak mereka untuk menulis cerita berdasarkan peristiwa yang mereka alami. Materi menulis cerita berdasarkan pengalaman ini dipelajari di kelas IX, yaitu pada KD: menulis cerita pendek bertolak dari peristiwa yang pernah dialami. Dengan bertolak dari pengalaman masing-masing, saya berharap akan lebih memudahkan mereka dalam menulis.
2.      Permasalahan
Permasalahan yang akan saya bahas dalam pengalaman ini adalah:  Bagaimana cara memotivasi siswa dalam menulis cerita berdasarkan peristiwa yang dialami siswa?
3.      Strategi Pemecahan Masalah
Untuk memotivasi minat siswa dalam menulis cerita ini saya lebih banyak menggunakan strategi pembelajaran heuristik. Yang dimaksud strategi pembelajaran heuristik adalah strategi pembelajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa dalam  mengolah bahan atau materi pelajaran. Dalam hal ini siswa yang berperan aktif sedangkan guru sebagai fasilitator yang memberikan dorongan, arahan dan bimbingan (cf. Sagala (2009: 71).
Sebagai fasilitator, saya juga terus berusaha untuk meningkatkan kemampuan menulis supaya saya memiliki bahan dan bukti bahwa menulis bukanlah sesuatu hal yang sangat sulit, tetapi bisa diusahakan. Dari beberapa bukti hasil karya saya tersebut menjadi salah satu hal yang saya pergunakan untuk memotivasi siswa meningkatkan kemampuan mereka dalam menulis. Dengan demikian tidak muncul sindiran atau pertanyaan dari anak-anak, “Lha mana hasil karya Bapak?”
Tahapan-tahapan operasional dalam pembelajaran ini adalah, pertama siswa diajak memahami tujuan pembelajaran, yaitu menulis cerita berdasarkan pengalaman atau peristiwa yang pernah dialami. Kedua, siswa diajak untuk mendata beberapa peristiwa penting yang menyenangkan, menyedihkan, mengharukan. Ketiga, siswa diminta untuk memilih satu di antara beberapa peristiwa tersebut yang paling mengesan. Keempat, siswa menuliskan kembali cerita tersebut dengan menambahkan imajinasi mereka agar cerita menjadi sebuah cerpen dan bukan cerita pengalaman. Kelima, siswa menyunting kembali tulisan yang sudah dibuatnya.

BAGIAN II

1.      Alasan Pemilihan Strategi Pemecahan Masalah
Seperti sudah saya ungkapkan pada bagian strategi pemecahan masalah di atas, bahwa saya memilih menggunakan strategi pembelajaran heuristik dalam pembelajaran menulis cerita berdasarkan peristiwa yang pernah dialami.   Hal ini saya lakukan karena dalam metode ini fungsi seorang guru benar-benar menjadi seorang fasilitator dan motivator.
Guru sebagai fasilitator. Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa, belakangan ini di Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada saat melaksanakan interaksi belajar mengajar. Wina Senjaya menyebutkan bahwa sebagai fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih bersifat “top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, guru seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru.
Guru sebagai motivator, hal ini  sejalan dengan pergeseran makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student oriented).  Peran seorang guru dalam proses pembelajaran  mengalami pergeseran, salah satunya adalah  guru lebih berperan sebagai motivator. Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa, sehingga terbentuk perilaku belajar siswa yang efektif. (http://elgarutyriki.blogspot.com)
Salah satu cara yang saya lakukan untuk memotivasi siswa tersebut adalah dengan menunjukkan beberapa hasil karya tulisan saya kepada para siswa. Beberapa artikel, cerpen, bahkan buku yang saya tulis saya pergunakan sebagai contoh untuk lebih memotivasi siswa.
2.      Hasil atau Dampak yang Dicapai dari Strategi Tersebut
Untuk menumbuhkembangkan bakat dan kemauan siswa dalam menulis memang memerlukan proses. Dengan kata lain bukan sesuatu yang instan atau langsung jadi. Namun demikian ada beberapa hasil karya siswa yang sempat saya kumpulkan di antaranya adalah buku kumpulan/Antologi puisi, kumpulan cerpen, buku “Perjalanan Panjang Menuju International Junior Science Olympiad 2010”, dan yang terakhir buku kumpulan pengalaman siswa yang mereka beri judul “Kisah dari Domsav”. Meskipun untuk buku yang terakhir ini saya tidak terlibat secara langsung tapi paling tidak ada beberapa siswa yang tergabung  sebagai penulis  pernah belajar dengan saya baik waktu mereka di kelas 8 atau 9.
3.      Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Melaksanakan Strategi
Seperti sudah saya sampaikan di atas, bahwa dampak dari motivasi yang saya berikan tidak dapat langsung dirasakan, kecuali pada saat siswa langsung diberi tugas. Hal itu pun tidak mudah. Misalnya pada saat mereka saya minta menulis cerpen, sering kali yang mereka tulis adalah kisah dari pengalaman mereka. Saya selalu menekankan bahwa cerpen atau novel adalah realitas fiksional, yaitu suatu fakta yang hanya ditemukan dalam cerita tersebut. Maka supaya sebuah pengalaman dapat menjadi cerita hendaklah dibumbui dengan imajinasi.
Kendala yang kedua adalah masih ada anak yang menggunakan jalan pintas, yaitu mencari cerpen dari internet dan mengumpulkannya. Untuk kasus ini, saya menekankan bahwa hal yang mereka lakukan itu adalah tindakan plagiasi, atau mencuri hasil karya orang lain.
 
4.      Faktor-faktor Pendukung
Kemajuan teknologi tentu saja menjadi salah satu faktor pendukung dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran ini. Selain itu tersedianya banyak contoh cerita yang ada di perpustakaan sekolah dan koleksi cerita yang dimiki siswa. Faktor yang paling penting adalah tumbuhnya minat dari beberapa siswa untuk dapat menulis dengan baik. Hal itu terbukti dari beberapa hasil karya siswa tersebut. Selain itu juga tersedianya media yang dapat mereka pergunakan untuk menyalurkan tulisan-tulisan mereka, seperti taboid sekolah (Cahaya), majalah jurnalistik (Fresh), majalah dinding, dan yang tidak kalah adalah blog atau media elektronik yang lain.
5.      Alternatif Pengembangan
Dengan melihat minat, potensi, dan ketersediaan sarana dan prasarana, maka sudah sepatutnya para siswa tersebut diberi apresiasi dan ruang yang lebih banyak. Beberapa siswa pernah menanyakan kepada saya bagaimana cara menerbitkan buku atau menulis di media massa. Saya selalu mengatakan tulis dulu apa yang kalian ingin tulis. Karena resep utama menjadi seorang penulis adalah memulai menulis dan terus menulis. Tanpa menulis kita tidak akan pernah menjadi seorang penulis.
Masih sering muncul anggapan bahwa dunia tulis-menulis menjadi dunia guru bahasa (bahasa Indonesia). Pemahaman  tersebut perlu diubah. Tidak semua penulis bahkan banyak penulis tidak memiliki latar belakang bahasa. Bahkan sering kali guru bahasa atau yang memiliki latar belakang bahasa malah tidak dapat menulis atau tidak mau menulis.
Oleh karena itu, perlu dukungan dari semua pihak agar kemampuan menulis siswa dapat lebih dikembangkan. Mengapa? Karena untuk dapat menulis siswa harus diberi motivasi dan ruang yang memadai. Selain itu tentu juga bimbingan dan arahan agar tulisan-tulisan yang dihasilkan anak-anak adalah sebuah hasil karya yang bermutu. Dalam pepatah Jawa dikatakan “nulisa nganggo waton, aja mung waton nulis”. Artinya menulis dengan baik dan benar dan bukan asal menulis.  
 
BAGIAN III
1.      Simpulan
Pada dasarnya semua anak (semua orang) memiliki kemampuan menulis. Salah satu hal yang paling mudah untuk membantu mengembangkan kemampuan ini adalah dengan menuliskan peristiwa yang pernah dialami. Terlebih peristiwa tersebut adalah peristiwa yang paling mengesan.
Dalam praktiknya memang tidak semudah yang kita bayangkan. Ada beberapa kendala yang seringkali kita hadapi. Kendala tersebut antara lain adanya siswa yang benar-benar mengalami kesulitan dalam menuangkan gagasan mereka dalam bentuk tulisan tertentu, misal cerpen. Kendala yang lain adalah adanya siswa yang memanfaatkan internet untuk mendapatkan hasil karya orang lain dan diakui atau sekadar disalin dan sedikit diubah menjadi karya mereka sendiri.
2.      Implementasi Pengalaman
Untuk memotivasi siswa dalam menulis, hendaknya para guru juga mengasah kemampuan mereka dalam hal tulis-menulis. Dengan demikian guru memiliki alasan yang kuat dan contoh konkret dalam memotivasi siswa. Sekolah sebaiknya memberi ruang yang cukup bagi siswa untuk menyalurkan bakat dan minat mereka dalam menulis dengan menyediakan majalah sekolah, tabloid sekolah, majalah dinding, blog, dan lain sebagainya.