Wednesday, 15 February 2012

TRAGEDI BUNGA MAWAR

TRAGEDI BUNGA MAWAR

Harum mawar memancar
Dari kelopak kembangmu
Sorot kesejukan dalam untaian nada kasih
Yang terjalin indah di taman bunga

Haru biru dan gegap gempita
Adalah nyanyian cinta di hari senja
Mawar mekar berguguran
Dalam kepuasan kasih dan birahi sang waktu

Duri-durimu masih pongah
Dalam kesombongan yang semu
Di balik kerapuhan cintamu
Mekar dalam sekejab, layu berguguran dan berhamburan

Walau wangi harummu
Sempat menghias relung hatiku
Kandas dan tercerai-berai
Diterpa angin senja yang sedikit nakal dan binal
Berjatuhan nasib takdir hidupmu
Dalam pelukan segumpalan debu.


    Segala sesuatu yang nampak indah atau cantik belum tentu membawa keberuntungan dan kebahagiaan. Ibarat setangkai bunga mawar merah yang sedang mekar, ia begitu cantik dan mempesona. Tetapi bila kita tidak berhati-hati saat kita hendak memetiknya, tangan kita bisa tertusuk duri. Dan kecantikan bunga mawar juga mengingatkan kita bahwa tak ada sesuatu yang abadi. Tak berapa lama kelopak mawar pun berjatuhan terlebih saat tersentuh tangan atau tertiup angin.
    Gemerlap dunia tak jarang hanya sebuah kebahagiaan semu. Saat kita tak kuasa menahan diri, bukannya kita yang memanfaatkan atau “memperbudak” segala harta benda, namun salah-salah kitalah yang diperbudaknya.
    Yakobus dalam salah satu suratnya (5:1-6)  telah mengingatkan kita: “Jadi sekarang hai kamu orang-orang kaya, menangislah dan merataplah atas sengsara yang akan menimpa kamu! Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan ngengat! Emas dan perakmu sudah berkarat, dan karatnya akan menjadi kesaksian terhadap kamu dan akan memakan dagingmu seperti api. Kamu telah mengumpulkan harta pada hari-hari yang sedang berakhir. Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu. Dalam kemewahan kamu telah hidup dan berfoya-foya di bumi, kamu telah memuaskan hatimu sama seperti pada hari-hari penyembelihan. Kamu telah menghukum, bahkan membunuh orang yang benar dan ia tidak dapat melawan kamu.
    Kenikmatan harta benda duniawi seperti keindahan sekuntum bunga mawar. Di balik keindahannya, tersimpan duri-duri yang tajam tetapi juga kerapuhan kelopak bunganya. Demikian kenikmatan harta benda dunia, telah meninabobokkan kita hingga kadang kita lupa diri. Segala cara, segala daya, dan segala upaya kita gunakan untuk menumpuk harta dan kekayaan. Hingga kita lupa bahwa apa yang kita lakukan nantinya harus dipertanggungjawabkan.
    Mungkin dihadapan manusia kita bisa luput dari segala pertanggungjawaban, tapi dihadapan-Nya apa yang dapat kita perbuat? Segala emas, segala perak akan bersaksi pada kita atas bagaimana cara kita memperolehnya. Dan kesaksiannya bukanlah saksi dusta!

NISAN

NISAN
Pada nisan  berwarna merah itu
Tertulis dengan jelas namamu, Ibu
Di bawah batu nisan itulah
Kau terbaring dalam tidur panjangmu.
Dan bila kurindu
Tak lagi aku mampu tatap wajahmu
Hanya batu nisan yang terukir namamu itulah
Yang dapat kutemui kemudian.
Dalam untaian doa yang selalu kupanjatkan
Semogalah Tuhan bukakan pintu Surga buatmu
Dan di situ jualah
Kelak kita kan bertemu, Ibu.

    Sebagai tanda dan sebagai pengingat maka dipasanglah nisan di atas makam bunda. Dipilih warna merah oleh ayah, supaya terlihat dengan jelas. Dan pada nisan itu tertulis dengan jelas nama bunda dan saat wafatnya.
    Setiap kali ke makam bunda, aku selalu disadarkan bahwa ke sana jualah kelak aku adanya. Aku bukanlah manusia abadi yang tak bisa mati. Dan kematian adalah satu hal yang pasti akan kuhadapi walau entah kapan. Setiap kali ingat semua itu, aku kembali pada kesadaran bahwa terlalu banyaklah dosa, sedangkan kebajikan belum seberapa.
    Manusia dicipta-Nya dari debu tanah, maka manusia akan kembali menjadi debu juga.
(7) ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kejadian 2:7). Itulah kesadaran yang selalu kutemukan setiap kali aku berkunjung ke makam Bunda. Sungguh sebuah kesadaran yang selama ini kuabaikan. Terlebih bila aku ingat bila Bunda kembali pada-Nya. Sungguh seperti yang disabdakan-Nya bahwa semua tak ada yang tahu kapan saatnya tiba. (44) Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga." (Matius, 24:44).
    Hari itu Bunda masih melakukan aktivitas seperti biasa. Bahkan sehabis mandi sore dan hendak berpakaian saat panggilan Tuhan mulai dirasakan. Dan semua berlalu begitu cepat. Hanya dalam waktu satu malam, semuanya berakhir seperti kehendak-Nya. Bunda pulang memenuhi panggilan-Nya.

KERIKIL KECIL

KERIKIL KECIL

Segelintir kerikil kecil
Menggelinding di jalan-jalan raya
Hitam beraspal
Yang sesak dan padat
Serta penuh debu

Dia hanya bisa menggelinding
Di sela hiruk pikuknya kehidupan
Ia tidak mampu berontak
Apalagi menolak
keganasan kehidupan ini

    Menjadi orang kecil, miskin, dan telantar tidaklah mudah. Terlebih di tengah kehidupan yang kian padat dan ramai, serta kompleks ini. Orang-orang kecil yang sudah berdiri jauh di pinggir pun masih harus menerima nasib semakin tersingkir. Itulah sebabnya mereka sering juga disebut kaum marjinal atau kaum pinggiran. Kaum yang secara tidak sadar harus selalu siap digusur dan diusir dari tanah mereka sendiri.
    Tak jarang orang-orang kecil menjadi objek pelecehan atau penghinaan. Tak mendapat pelayanan atau perlakuan yang sewajarnya adalah hal biasa. Bahkan tak jarang mereka menjadi bulan-bulanan atau menjadi kambing hitam atas segala “kejahatan” yang ada di masyarakat.
    Ambilah sebuah contoh bahwa menjadi orang miskin sering tidak mendapat pelayanan yang sewajarnya. Sebut saja Pak Mahmud salah seorang warga Cakrawala Baru yang karena kemiskinannya ia bersama keluarganya terpaksa tinggal di gubug dibawah jalan arteri. Bukanlah sebuah tempat tinggal yang layak tentunya. Ia mempunyai dua orang anak yang keduanya sedang sakit. Oleh seorang dokter yang memeriksanya kedua anak Pak Mahmud dirujuk ke sebuah rumah sakit. Genap lima hari opname di rumah sakit tersebut, kedua anak Pak Mahmud belum juga sembuh, tetapi oleh pihak rumah sakit sudah dipersilakan pulang.
    Dengan berat hati Ismatun dan Husni dibawa pulang ke gubugnya. Sampai di tempat tinggalnya yang memang tidak layak huni, Ismatun dan Husni tidak juga kunjung sembuh. Lalu mereka dirujuk ke sebuah rumahsakit daerah di kota tersebut. Dengan alasan tidak ada tempat, maka Ismatun dan Husni yang anak keluarga miskin itu tidak mendapat pelayanan kesehatan yang sewajarnya.
    Pengalaman yang menimpa Pak Mahmud dan keluarganya hanyalah salah satu contoh kejadian yang menimpa orang miskin. Masih banyak kasus yang lain yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini.
    Siapakah sebenarnya orang kecil, miskin, dan telantar itu? Menurut Pater Dr. Mateus Mali CSSR (Praba, No. 7. April 2005) belum ada batasan yang jelas-jelas jelas untuk menentukan siapa sebenarnya yang dimaksud orang kecil atau orang miskin itu. Dia mencoba merumuskan sebuah definisi sebagai berikut. Orang miskin adalah mereka yang belum atau tidak dapat memenuhi semua kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan dasar yang dimaksudkan adalah sandang, pangan, papan, kesehatan, air bersih, hiburan, dan lain sebagainya.
    Jika boleh memilih, pastilah tidak ada orang yang mau dilahirkan dalam keluarga yang miskin. Terlahir dalam keluarga kaya yang serba ada pastilah dambaan banyak orang. Bahkan ada sebuah pepatah populer yang mengatakan “kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, kalau mati masuk surga.”  Pepatah tersebut menegaskan bahwa hidup mapan secara materi adalah sebuah dambaan.
    Bila kita menengok kembali pada perumpamaan Tuhan Yesus tentang “Orang Kaya dan Lazarus”, maka sangatlah mustahil apa yang kita inginkan melalui ungkapan di atas. Karena dengan tegas Tuhan Yesus menyampaikan bahwa orang kaya tersebut masuk neraka sedangkan Lazarus yang miskin justru masuk surga. Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. (Lukas 16:22-23).
    Dengan mencermati cerita di atas, sebagai orang kecil mungkin kita boleh merasa lega. Mengapa? Karena ternyata Tuhan memperhatikan umat-Nya tidaklah dengan cara pandang manusia, yaitu melihat seseorang dari derajat, pangkat, profesi, dan hartanya. Melainkan lebih melihat eksistensi seseorang dari iman dan kemurnian hati serta jiwanya. Kita boleh saja miskin secara harta duniawi, tetapi tentunya kita tidak boleh miskin hati dan miskin iman.
    Seperti yang digambarkan dalam salib, bahwa salib itu terdiri dari bagian yang  vertikal dan  bagian yang horisontal. Bagian yang vertikal  menggambarkan hubungan manusia  dengan Tuhan Allah sebagai perwujudan dari kekayaan iman, atau manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk religius. Sedangkan  bagian yang horisontal  menggambarkan hubungan kita dengan sesama sebagai perwujudan dari kekayaan hati, atau manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial.