PENGALAMAN MEMOTIVASI SISWA DALAM MENULIS
CERITA
DI SMP PANGUDI LUHUR DOMENICO SAVIO
BAGIAN I
1. Latar Belakang Masalah
Dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia dikenal empat kompetensi keterampilan berbahasa yaitu
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut hendaknya
dikembangkan secara seimbang sehingga akan dapat membantu siswa dalam kemampuan
berpikir dan belajar.
Dalam tulisan ini, saya
lebih menekankan pada pengalaman saya memotivasi siswa dalam aspek keterampilan
menulis. Hal ini saya lakukan karena saya berpendapat bahwa siswa-siswi SMP PL
Domenico Savio memiliki potensi yang cukup besar dalam menulis, namun mereka
kurang menyadari dan belum mengembangkan kemampuan menulis mereka secara
optimal.
Sebagai daya tarik
bagi siswa agar mau menulis, maka saya mengajak mereka untuk menulis cerita
berdasarkan peristiwa yang mereka alami. Materi menulis cerita berdasarkan
pengalaman ini dipelajari di kelas IX, yaitu pada KD: menulis cerita pendek
bertolak dari peristiwa yang pernah dialami. Dengan bertolak dari pengalaman
masing-masing, saya berharap akan lebih memudahkan mereka dalam menulis.
2. Permasalahan
Permasalahan yang
akan saya bahas dalam pengalaman ini adalah: Bagaimana cara memotivasi siswa dalam menulis
cerita berdasarkan peristiwa yang dialami siswa?
3. Strategi Pemecahan Masalah
Untuk memotivasi
minat siswa dalam menulis cerita ini saya lebih banyak menggunakan strategi
pembelajaran heuristik. Yang dimaksud
strategi pembelajaran heuristik adalah strategi pembelajaran yang lebih
menekankan pada aktivitas siswa dalam
mengolah bahan atau materi pelajaran. Dalam hal ini siswa yang berperan
aktif sedangkan guru sebagai fasilitator yang memberikan dorongan, arahan dan
bimbingan (cf. Sagala (2009: 71).
Sebagai fasilitator,
saya juga terus berusaha untuk meningkatkan kemampuan menulis supaya saya
memiliki bahan dan bukti bahwa menulis bukanlah sesuatu hal yang sangat sulit,
tetapi bisa diusahakan. Dari beberapa bukti hasil karya saya tersebut menjadi
salah satu hal yang saya pergunakan untuk memotivasi siswa meningkatkan
kemampuan mereka dalam menulis. Dengan demikian tidak muncul sindiran atau
pertanyaan dari anak-anak, “Lha mana hasil karya Bapak?”
Tahapan-tahapan
operasional dalam pembelajaran ini adalah, pertama
siswa diajak memahami tujuan pembelajaran, yaitu menulis cerita berdasarkan
pengalaman atau peristiwa yang pernah dialami. Kedua, siswa diajak untuk mendata beberapa peristiwa penting yang
menyenangkan, menyedihkan, mengharukan. Ketiga,
siswa diminta untuk memilih satu di antara beberapa peristiwa tersebut yang
paling mengesan. Keempat, siswa
menuliskan kembali cerita tersebut dengan menambahkan imajinasi mereka agar
cerita menjadi sebuah cerpen dan bukan cerita pengalaman. Kelima, siswa
menyunting kembali tulisan yang sudah dibuatnya.
BAGIAN II
1. Alasan Pemilihan Strategi Pemecahan Masalah
Seperti sudah saya
ungkapkan pada bagian strategi pemecahan masalah di atas, bahwa saya memilih
menggunakan strategi pembelajaran heuristik
dalam pembelajaran menulis cerita berdasarkan peristiwa yang pernah
dialami. Hal ini saya lakukan karena
dalam metode ini fungsi seorang guru benar-benar menjadi seorang fasilitator
dan motivator.
Guru sebagai
fasilitator. Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula lebih banyak
diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya
dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna
pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa, belakangan ini di
Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan
formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada saat melaksanakan
interaksi belajar mengajar. Wina Senjaya menyebutkan bahwa sebagai fasilitator,
guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses
pembelajaran. Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap
perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih bersifat “top-down” ke
hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, guru seringkali
diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando,
instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disinyalir oleh Y.B.
Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa lebih diposisikan sebagai
“bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang
dikehendaki oleh guru.
Guru sebagai
motivator, hal ini sejalan dengan
pergeseran makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran yang
berorientasi kepada siswa (student
oriented). Peran seorang guru dalam
proses pembelajaran mengalami
pergeseran, salah satunya adalah guru
lebih berperan sebagai motivator. Proses pembelajaran akan berhasil manakala
siswa mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan
motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru
dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa, sehingga terbentuk
perilaku belajar siswa yang efektif. (http://elgarutyriki.blogspot.com)
Salah satu cara yang
saya lakukan untuk memotivasi siswa tersebut adalah dengan menunjukkan beberapa
hasil karya tulisan saya kepada para siswa. Beberapa artikel, cerpen, bahkan
buku yang saya tulis saya pergunakan sebagai contoh untuk lebih memotivasi
siswa.
2. Hasil atau Dampak yang Dicapai dari Strategi
Tersebut
Untuk
menumbuhkembangkan bakat dan kemauan siswa dalam menulis memang memerlukan
proses. Dengan kata lain bukan sesuatu yang instan atau langsung jadi. Namun
demikian ada beberapa hasil karya siswa yang sempat saya kumpulkan di antaranya
adalah buku kumpulan/Antologi puisi, kumpulan cerpen, buku “Perjalanan Panjang
Menuju International Junior Science Olympiad 2010”, dan yang terakhir buku
kumpulan pengalaman siswa yang mereka beri judul “Kisah dari Domsav”. Meskipun
untuk buku yang terakhir ini saya tidak terlibat secara langsung tapi paling
tidak ada beberapa siswa yang tergabung sebagai penulis pernah belajar dengan saya baik waktu mereka
di kelas 8 atau 9.
3. Kendala-kendala yang Dihadapi dalam
Melaksanakan Strategi
Seperti sudah saya
sampaikan di atas, bahwa dampak dari motivasi yang saya berikan tidak dapat
langsung dirasakan, kecuali pada saat siswa langsung diberi tugas. Hal itu pun
tidak mudah. Misalnya pada saat mereka saya minta menulis cerpen, sering kali
yang mereka tulis adalah kisah dari pengalaman mereka. Saya selalu menekankan
bahwa cerpen atau novel adalah realitas fiksional, yaitu suatu fakta yang hanya
ditemukan dalam cerita tersebut. Maka supaya sebuah pengalaman dapat menjadi
cerita hendaklah dibumbui dengan imajinasi.
Kendala yang kedua
adalah masih ada anak yang menggunakan jalan pintas, yaitu mencari cerpen dari
internet dan mengumpulkannya. Untuk kasus ini, saya menekankan bahwa hal yang
mereka lakukan itu adalah tindakan plagiasi, atau mencuri hasil karya orang
lain.
4. Faktor-faktor Pendukung
Kemajuan teknologi
tentu saja menjadi salah satu faktor pendukung dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran ini. Selain itu tersedianya banyak contoh cerita yang ada di
perpustakaan sekolah dan koleksi cerita yang dimiki siswa. Faktor yang paling
penting adalah tumbuhnya minat dari beberapa siswa untuk dapat menulis dengan
baik. Hal itu terbukti dari beberapa hasil karya siswa tersebut. Selain itu
juga tersedianya media yang dapat mereka pergunakan untuk menyalurkan
tulisan-tulisan mereka, seperti taboid sekolah (Cahaya), majalah jurnalistik
(Fresh), majalah dinding, dan yang tidak kalah adalah blog atau media
elektronik yang lain.
5. Alternatif Pengembangan
Dengan melihat
minat, potensi, dan ketersediaan sarana dan prasarana, maka sudah sepatutnya
para siswa tersebut diberi apresiasi dan ruang yang lebih banyak. Beberapa
siswa pernah menanyakan kepada saya bagaimana cara menerbitkan buku atau
menulis di media massa. Saya selalu mengatakan tulis dulu apa yang kalian ingin
tulis. Karena resep utama menjadi seorang penulis adalah memulai menulis dan
terus menulis. Tanpa menulis kita tidak akan pernah menjadi seorang penulis.
Masih sering muncul
anggapan bahwa dunia tulis-menulis menjadi dunia guru bahasa (bahasa Indonesia).
Pemahaman tersebut perlu diubah. Tidak
semua penulis bahkan banyak penulis tidak memiliki latar belakang bahasa.
Bahkan sering kali guru bahasa atau yang memiliki latar belakang bahasa malah tidak dapat menulis atau tidak mau
menulis.
Oleh karena itu,
perlu dukungan dari semua pihak agar kemampuan menulis siswa dapat lebih
dikembangkan. Mengapa? Karena untuk dapat menulis siswa harus diberi motivasi
dan ruang yang memadai. Selain itu tentu juga bimbingan dan arahan agar
tulisan-tulisan yang dihasilkan anak-anak adalah sebuah hasil karya yang
bermutu. Dalam pepatah Jawa dikatakan “nulisa
nganggo waton, aja mung waton nulis”. Artinya menulis dengan baik dan benar
dan bukan asal menulis.
BAGIAN III
1. Simpulan
Pada dasarnya semua anak
(semua orang) memiliki kemampuan menulis. Salah satu hal yang paling mudah
untuk membantu mengembangkan kemampuan ini adalah dengan menuliskan peristiwa
yang pernah dialami. Terlebih peristiwa tersebut adalah peristiwa yang paling
mengesan.
Dalam praktiknya
memang tidak semudah yang kita bayangkan. Ada beberapa kendala yang seringkali
kita hadapi. Kendala tersebut antara lain adanya siswa yang benar-benar
mengalami kesulitan dalam menuangkan gagasan mereka dalam bentuk tulisan
tertentu, misal cerpen. Kendala yang lain adalah adanya siswa yang memanfaatkan
internet untuk mendapatkan hasil karya orang lain dan diakui atau sekadar
disalin dan sedikit diubah menjadi karya mereka sendiri.
2. Implementasi Pengalaman
Untuk memotivasi
siswa dalam menulis, hendaknya para guru juga mengasah kemampuan mereka dalam
hal tulis-menulis. Dengan demikian guru memiliki alasan yang kuat dan contoh
konkret dalam memotivasi siswa. Sekolah sebaiknya memberi ruang yang cukup bagi
siswa untuk menyalurkan bakat dan minat mereka dalam menulis dengan menyediakan
majalah sekolah, tabloid sekolah, majalah dinding, blog, dan lain sebagainya.
No comments:
Post a Comment