PEMBALASAN TIKUS
Warga Karang
Tega mempunyai kebiasaan membuang bangkai tikus di jalan raya. Mereka belum
merasa puas jika tikus-tikus yang berhasil mereka tangkap belum terlindas roda
kendaraan yang lalu-lalang di daerah mereka. Sebagian besar warga mempunyai
kesepahaman yang sama bahwa tikus-tikus itu memang pantas mati dengan cara
demikian. Karena tikus-tikus itu telah mencuri makanan mereka, melobangi
dinding mereka, mengotori rumah mereka, dan seabrek alasan lain untuk
pembenaran atas sikap mereka pada bangkai-bangkai tikus itu.
Meskipun
demikian, tidak semua warga Karang Tega mempunyai kebiasaan membuang bangkai
tikus di jalan raya. Salah satu warga yang tidak setuju dengan kebiasaan itu
adalah keluarga Pak Kerti. Meskipun tidak setuju, Pak Kerti tidak pernah secara
langsung menyampaikan ketidaksetujuannya itu kepada warga. Ia lebih senang
melakukan tindakan nyata. Tanpa rasa jijik dan takut, ia mengumpulkan
bangkai-bangkai tikus yang dilemparkan warga kemudian menguburnya di pekarangan
belakang rumahnya atau di dekat pembuangan sampah yang letaknya juga tak
terlalu jauh dengan rumahnya.
Kebiasaan Pak Kerti
tersebut tentu saja menarik perhatian warga. Mereka heran mengapa Pak Kerti mau
melakukan pekerjaan yang menjijikkan itu. Hingga suatu saat Pak RT mendatangi
rumah Pak Kerti dan menanyakan kebiasaan Pak Kerti yang beda dengan warga-warga
yang lain itu.
“Pak Kerti,
mengapa sih Bapak justru mengambil bangkai-bangkai tikus yang sengaja dibuang
warga ke jalan?” tanya Pak RT.
“Maaf Pak RT.
Saya merasa kasihan aja dengan tikus-tikus itu.”
“Lho, bukanya
tikus kan cuma binatang?” sanggah Pak RT.
“Betul Pak. Tapi
tidak sepantasnya kita memperlakukan sampai seperti itu.”
“Pak Kerti,
bukankah tikus-tikus itu sudah mengganggu kita semua. Selain itu, tikus-tikus
itu juga dapat membawa wabah penyakit yang membahayakan buat kita semua?”
“Iya, Pak RT.
Saya paham. Itu sebabnya saya lebih memilih menguburkan bangkai tikus-tikus itu
daripada membiarkannya berserakan di jalan. Maaf Pak, bukan maksud saya
menggurui. Bukankah kalau dilempar di jalan bangkai tikus itu justru
menimbulkan bau yang tidak sedap di lingkungan kita. Selain itu, jika
tikus-tikus itu terlindas ban mobil atau motor kemudian tubuhnya remuk dan
mengering, maka debunya justru akan terhirup oleh kita? Dan itu justru membahayan
kesehatan kita semua.”
“Terserah Pak
Kerti sajalah!” Jawab Pak RT sambil meninggalkan rumah Pak Kerti.
Selain Pak RT
beberapa warga yang penasaran dengan Pak Kerti juga menanyakan hal yang sama.
Dan jawaban Pak Kerti pun selalu sama. Pak Kerti merasa kasihan dengan
tikus-tikus yang sudah mati itu. Ia kasihan setiap kali melihat bangkai tikus
terlindas roda kendaraan sehingga tubuhnya hancur.
Jadilah hampir
setiap hari Pak Kerti membawa peralatan seadanya untuk mengambil bangkai tikus
yang dibuang warga ke jalan lalu menguburkannya. Karena kebiasaannya itu juga
Pak Kerti mendapat julukan baru, Pak Kerti Tikus. Meskipun ada nama tikus di belakang namanya, namun Pak
Kerti tidaklah seperti tikus-tikus yang lain yang suka makan uang rakyat. Yang
sering disebut tikus berdasi.
Hingga suatu
ketika peristiwa menghebohkan terjadi di Karang Tega. Entah dari mana asalnya,
di suatu pagi buta warga Karang Tega dikejutkan dengan peristiwa aneh. Di
rumah-rumah warga berserak bangkai-bangkai tikus. Di halaman rumah, di lantai,
di kamar, di kamar mandi, di dapur, di hampir semua sudut ruang rumah warga
terdapat bangkai-bangkai tikus dalam berbagai bentuk. Ada yang masih utuh, ada
yang sudah remuk badanya. Dan pagi itu benar-benar pagi yang menghebohkan.
Ibu-ibu, anak-anak menjerit-jerit ketakutan dan jijik. Mereka tidak pernah
menyangka kalau akan mengalami peristiwa yang menghebohkan itu.
Hanya ada satu
warga yang rumahnya tetap bersih, yaitu rumah Pak Kerti. Tak satu bangkai tikus
pun ada di halaman rumahnya ataupun di dalam rumahnya. Bahkan rumah Pak Kerti
nampak lebih bersih dari hari-hari sebelumnya. Ya, karena rumah warga yang lain
menjadi sangat kotor oleh bangkai tikus dan bau anyir dari bangkai tikus
menyengat di semua sudut Karang Tega.
Kehebohan pagi
itu semakin menjadi begitu warga tahu bahwa rumah Pak Kerti terbebas dari
bangkai tikus. Mereka mulai berpikir bahwa pastilah Pak Kerti yang telah
melemparkan bangkai-bangkai tikus itu ke
rumah mereka. Ya..ya.. itulah kesimpulan mereka.
Warga Karang
Tega tak lagi dapat berpikir jernih, bahwa betapa tidak mungkin Pak Kerti yang
sudah tua itu melempar bangkai-bangkai tikus di rumah-rumah warga yang sekian
banyaknya. Bahkan mereka berbondong-bondong menuju rumah Pak Kerti dengan penuh
emosi.
“Pak Kerti...Pak
Kerti...keluar!” demikian teriak semua warga.
“Kamu harus
tanggung jawab membersihkan semua bangkai tikus di rumah warga.” Teriak warga
yang lain dengan lebih lantang.
Dengan langkah
pelan dan penuh tanda tanya, Pak Kerti keluar dari rumahnya. Ia nampak terheran-heran
melihat banyak sekali warga desa yang berkumpul di depan rumahnya.
“Ada apa saudara-saudara? Kenapa saudara-saudara
berkumpul di depan rumah saya?” tanya Pak Kerti dengan penuh keheranan.
“Ada apa? Jangan
pura-pura tidak tahu, Pak Kerti.” Teriak salah satu warga yang kebetulan berada
di barisan depan.
“Lho ... lho ...
lho ...! Saya memang tidak tahu.” Jawab Pak Kerti semakin bingung.
“Begini, Pak.”
Jawab Pak RT yang sedari tadi diam saja. “Pagi ini rumah kami penh dengan
bangkai tikus. Hampir di semua tempat ada bangkai tikus dalam berbagai bentuk.
Lalu ada salah satu warga yang mengatakan bahwa rumah Pak Kerti tetap bersih
tidak seperti rumah kami. Maka kami berpendapat, Pak Kertilah yang telah
membuang bangkai-bangkai tikus itu ke rumah kami.”
“Ya ... ya ...!”
teriak warga yang lain.
“Sabar ...
saudara-saudara!” Teriak Pak Kerti dengan nada semakin heran. “Mana mungkin
saya yang sudah setua ini membuang bangkai tikus sebanyak itu di rumah semua
warga? Apa untungnya bagi saya melakukan semua itu? Saya tidak melakukannya
saudara-saudara!”
“Kalau bukan Pak
Kerti lalu siapa? Apakah mungkin bangkai itu datang sendiri ke rumah kami. Atau
jangan-jangan ...?”
Semua warga
memandang ke arah Pak RT. Semua bengong. Dan tanpa di komando semua warga
mengatakan “Jangan-jangan...jangan-jangan...jangan-jangan...!”
Demikianlah pagi
itu semakin heboh. Semua orang berbicara sendiri-sendiri “Jangan-jangan!
Jangan-jangan! ...”
Melihat situasi
yang semakin kacau, Pak Kerti memukul-mukul drum yang ada di depan rumahnya
sambil berteriak.
“Diam semua!”
Seperti
tersengat listrik, mereka terjaga dari tingkah anehnya. Mereka pun kemudian
diam mendengarkan Pak Kerti.
“Saudara-saudara,
saya harap mendengarkan saya dulu. Saya yakin kejadian aneh ini ada hubungannya
dengan kebiasaan saudara-saudara membuang bangkai tikus di jalan. Mungkin
tikus-tikus yang lain ingin membalas dendam pada saudara-saudara semua.” Pak
Kerti berhenti sebentar, sambil mengatur nafasnya yang sudah terengah-engah.
“Mari kita
berdoa bersama-sama mohon ampun pada Tuhan. Semoga tragedi pagi ini dapat
segera berlalu. Dan yang paling penting kita tidak mengulang kebiasaan kurang
baik kita.”
Tanpa dikomando
semua warga duduk di halaman rumah Pak Kerti. Mereka mengambil sikap doa
seperti apa yang disampaikan Pak Kerti.
“Mari
saudara-saudara kita berdoa menurut keyakinan kita masing-masing. Berdoa
dimulai.”
Dengan khusuk semua
warga berdoa. Mereka mohon ampun kepada Tuhan karena telah bersikap semena-mena
terhadap sesama makhluk Tuhan.
Luar biasa.
Setelah mereka selesai berdoa, secara ajaib bangkai-bangkai tikus yang semula
berserakan hilang. Tak ada lagi bangkai tikus di meja makan, di tempat tidur,
di kamar mandi, atau pun di halaman. Secara ajaib semua bangkai tikus itu
hilang. Seperti juga kemunculannya yang ajaib.
Mulai saat itu
kebiasaan masyarakat Karang Tega menjadi lebih baik. Mereka lebih memperhatikan
kebersihan lingkungan. Dari mana bangkai tikus itu berasal? Ke mana bangkai
tikus itu menghilang? Mengapa bisa begitu? Itu semua pertanyaan yang sampai
saat ini tidak bisa dijawab oleh masyarakat Karang Tega.
Semarang,
Juni 2016
No comments:
Post a Comment