PENYESALAN
KAKEK MARJO
Sudah
satu bulan ini istri Kakek Marjo, Mbok Marjo, terbaring lemah di sebuah rumah
sakit di kota. Dari waktu satu bulan itu, waktu tiga minggu dihabiskan di ruang
ICU. Ya, keadaannya memang sudah cukup kritis. Penyakit diabet yang dideritanya
selama ini telah menyebabkan komplikasi berbagai penyakit. Ginjalnya mulai
tidak berfungsi dengan baik, pernapasannya pun tersumbat sehingga harus
dibuatkan lubang pernapasan buatan di leher, tensinya pun cenderung tinggi,
juga jantungnya tak normal lagi.
Segala upaya telah dilakukan oleh
anak-anaknya. Segala daya juga sudah dilakukan oleh dokter rumah sakit
tersebut. Setelah tiga minggu terbaring di ruang ICU, akhirnya dokter pun
angkat tangan. Namun, dengan pertimbangan tertentu pihak keluarga menawar agar
ibunya masih diperbolehkan dirawat di rumah sakit itu. Tentu saja dengan konsekuensi harus keluar biaya
lebih banyak lagi.
Tapi yang lebih menyedihkan, selama
Mbok Marjo di rumah sakit, belum sekalipun Kakek Marjo menjenguknya. Bukan
karena Kakek Marjo tidak mau, ia sangat ingin menjenguk istrinya yang ia
cintai. Yang telah menemani hidupnya dalam untung dan malang selama ini. Tapi
anak-anaknya selalu melarangnya. Bahkan setiap kali Kakek Marjo menanyakan
kondisi istrinya, anak-anaknya selalu mengatakan bahwa Mbok Marjo sudah sehat.
Sebentar lagi juga pulang.
Pernah suatu hari Kakek Marjo
melontarkan keinginannya untuk ikut membesuk istrinya.
“Tumi, mbok saya tak ikut nengok
simbokmu di rumah sakit.”
“Bapak di rumah saja. Simbok sudah
sehat. Lagian jalan masuk ke rumah sakit jauh nanti Bapak malah sakit. Kalau Bapak
sakit siapa yang repot? Aku juga kan?”
“Tapi aku...”
“Sudah! Bentar lagi simbok juga
pulang. Bapak di rumah aja berdoa untuk simbok!”
Demikian setiap kali Tuminah dan
saudara-saudaranya selalu berbohong atas kondisi ibunya kepada bapaknya. Mereka
berpikir jika Pak Marjo ikut ke rumah sakit, atau tahu kondisi Mbok Marjo yang
sebenarnya Pak Marjo akan shok dan jatuh sakit. Maka mereka sepakat untuk
berbohong tentang kondisi ibunya.
Satu hal yang tidak mereka ketahui
adalah ikatan batin Mbok Marjo dan Pak Marjo sebagai suami istri puluhan tahun
begitu kuat. Dalam kebisuan di pembaringan rumah sakit, Mbok Marjo sebenarnya
selalu berharap untuk bisa bertemu dengan suaminya. Sementara itu Pak Marjo pun
sangat ingin bertemu dengan istrinya. Tapi seperti ada benteng yang kuat yang
menghalangi keinginan mereka untuk bertemu. Entah apa yang sebenarnya terjadi
sehingga anak-anak mereka begitu kekeh
untuk tidak mengijinkan Pak Marjo menjenguk istrinya. Apakah ada hubungannya
dengan peristiwa sekian tahun yang lalu?
Waktu itu Tuminah masih belia. Ia
jatuh cinta pada salah satu karyawan Pak Marjo. Karena perbedaan status maka
hubungan cinta mereka dilarang oleh orang tuanya. Terlebih Mbok Marjo. Ia tidak
ingin anaknya hanya mendapatkan karyawannya sendiri. Tapi cinta memang buta,
Tuminah tetap menjalin asmara dengan lelaki itu. Dan pada akhirnya, Pak Marjo
dan istrinya pun harus mengalah dan terpaksa merestui hubungan mereka.
Apakah ada hubungannya peristiwa yang
dialami Pak Marjo dan Mbok Marjo dengan peristiwa itu? Hanya Tuhan yang tahu.
Benar juga apa yang dikatakan Tuminah
dan saudara-saudaranya bahwa simboknya segera pulang. Mbok Marjo pun akhirnya
pulang untuk bertemu dengan Pak Marjo. Hanya saja kepulangannya kali ini
diantar dengan ambulan jenazah.
Ya, Mbok Marjo sudah menyelesaikan
tugasnya di dunia. Walau di akhir hayatnya ia terpaksa menunggu kekasih hatinya
yang tak kunjung menjenguknya. Akhirnya Mbok Marjo pun tak lagi kuasa menanti,
maka pulanglah ia dalam kebekuan yang dingin dalam kematian yang pasti.
“Jadi kalian selama ini sudah bohong
pada Bapakmu!” Demikian hal yang terucap dari mulut Pak Marjo begitu tahu
istrinya sudah meninggal. Air matanya mengalir deras dari kedua matanya yang
sudah mulai rabun dan meluncur dikeriput kulit wajahnya. Ia begitu terpukul dan
berduka.
Anak-anaknya yang selama ini memiliki
sejuta alasan untuk melarang Pak Marjo menjenguk Bu Marjo kehabisan kata-kata.
Mereka terdiam sambil terus meneteskan air mata duka dan penyesalan serta rasa
bersalah. Tapi semua sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur. Yang tinggal
adalah kebekuan jasad Mbok Marjo dan hati Pak Marjo.
***
Tiba-tiba Pak Marjo teringat masa-masa
muda dulu. Masa di mana Pak Marjo dan Mbok Marjo berjuang bersama mengarungi
bahtera rumah tangga. Ia masih ingat betul saat usahanya berjaya. Pak Marjo
memiliki usaha di bidang transportasi, sedangkan Mbok Marjo memiliki usaha
dagang. Karena usaha mereka itu pulalah yang akhirnya mempertemukan dan
mempersatukan mereka.
Awalnya Mbok Marjo yang memiliki nama
asli Suminten hanyalah pelanggan Pak Marjo yang menjadi pengemudi angkot.
Karena sering bertemu dan bergaul itulah membuat Marjo dan Suminten saling
jatuh cinta. Bak gayung bersambut, cinta mereka pun mendapat restu dari orang
tua masing-masing.
***
Lamunan Pak Marjo pun buyar seiring
dengan segera akan diberangkatkan jenazah Mbok Marjo ke pemakaman. Dengan
tertatih-tatih Pak Marjo ikut mengantar istrinya ke pemakaman. Anak-anaknya tak
satupun yang berani melarangnya. Mereka diam dalam kebisuan di antara lantunan
doa-doa para pengantar jenazah.
Segala sakit dan segala derita Mbok
Marjo telah sembuh. Ia kini nyenyak dalam tidur panjangnya tanpa mengeluh
sakit, tanpa obat, dan tanpa infus. Tinggal Pak Marjo yang meratapi
kesendiriannya serta rasa penyesalan karena tidak sempat menjenguk istrinya
waktu di rumah sakit.
Hari berganti. Kemurungan hati Pak Marjo tetap berlanjut. Bahkan Pak
Marjo tidak mau makan. Segala bujuk rayu anak-anak dan menantunya tak
menggoyahkan hatinya yang masgul. Tak ada obat yang mampu mengobati hatinya
yang luka. Hanya waktu yang akan menyelesaikan semua perkara.
No comments:
Post a Comment