Monday 11 October 2010


KETELADANAN, PERLUKAH?

 
    Dalam sebuah keluarga tiba-tiba Bapak marah hebat kepada anaknya. Pasalnya si anak ketahuan tengah merokok. Bahkan saking marahnya, si anak tersebut sampai dipukul oleh bapak.
    "Dasar anak kurang ajar. Sudah tahu merokok itu tidak baik terlebih buat kesehatan, masih nekat merokok!" demikian kata bapak. "Kamu tahu kan kalau sudah telanjur menjadi perokok seperti bapak akan sangat sulit untuk dihentikan..."
    Demikian si Bapak menasehati dan memarahi anknya panjang lebar dengan kata-kata yang menjelaskan bahaya rokok buat kesehatan, merokok itu pemborosan, dst.
    Di depan Bapaknya anak tersebut diam dan patuh karena takut. Tapi dalam hati si anak tersebut mengatakan,
"Bapak sendiri merokok. Bahkan begitu menikmati rokok. Kenapa mesti marah-marah tahu aku merokok? Kenapa aku mesti dipukul begitu Bapak tahu aku merokok? Itu tidak adil namanya." Demikian protes si anak yang tidak berani ia ungkapkan.
Sejak peristiwa itu Bapak tidak lagi melihat anaknya merokok. Sepertinya ia menjadi anak yang manis di depan bapaknya. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Di depan Si Bapak anak itu memang tidak merokok, tapi di belakang ia perokok hebat seperti bapaknya. Bahkan ia lebih hebat, karena ia bukan sekadar merokok biasa tetapi ia pecandu narkoba. Rokok yang dihisapnya adalah ganja.
Hingga suatu saat... Si Bapak menemukan anaknya terkapar meregang nyawa karena kecanduan narkoba. Di tangan si anak, bapak menemukan lintingan ganja dan bukan sekadar rokok biasa.
"?...?...?...?...?" Ya...ya...penyesalan selalu datang terlambat. "Andaikan aku sendiri berusaha berhenti untuk menjadi perokok tidak sekadar melarang dan menasihati anakku, mungkin ini semua tidak terjadi. Andaikan aku mampu menjadi teladan buat ankku untuk tidak merokok, munkin anakku pun teidak menjadi perokok bahkan pecandu narkoba." Demikian penyesalan Si Bapak.
Ada juga benarnya pepatah Jawa itu, "gedhang awoh pakel, omong gampang nglakoni angel". Memang tidak mudah menjadi teladan bagi orang lain. Sekadar ngomong itu mudah, tapi menjalaninya sendiri, betapa tidak mudah!

Tuesday 31 August 2010


SERUMPUN PADI

 
Serumpun padi di sawah
Sawah yang kotor oleh Lumpur
Sawah yang terik oleh matahari

 
Serumpun padi
Lambang pengabdian penuh setia dari petani

 
Dia hidupi sebanyak-banyak nyawa
Dari keringat dan deru nafasnya.
Hitam kulitnya
Adalah tanda waktu kesetiaan
Dalam pengabdiannya.

 
Jasa yang tiada banding, tiada tanding
Atas petani; atas serumpun padi
Yang tak berharap tempat tinggi
Dan tak hendak merebut kursi
Karena kursi sering
Membutakan hati nurani.

 
(*)EMAS LEBIH BERHARGA DARIPADA PADI?

 
    Akhirnya raja manusia condong kepada pendirian raja emas dan menjatuhkan keputusan emas lebih berharga daripada padi. Mendengar keputusan itu, raja emas sangat girang dan gembira, kembali ke istananya dengan hati besar. Sebaliknya raja padi sangat kecewa. Kepada raja manusia ia bertanya "Jadi Baginda Raja manusia berpendapat emas lebih berharga daripada padi, perhiasan lebih berharga daripada pangan?" Jawab raja manusia: "Kebenarannya memang demikian."
    Raja padi pulang dengan masygul. Sampai di istana memanggil patih dan berkata kepadanya: "Sampaikan perintah kepada semua padi di ladang, di sawah, dan di lumbung-lumbung, dan semua beras di rumah-rumah orang, malam ini kita pergi meninggalkan negeri manusia!"
    Perintah disebarluaskan, dan semua padi dan beras lenyap dari negara manusia. Paginya rakyat mau menanak nasi, beras tidak ada sebutir pun. Raja dan rakyat kelaparan. Cepat-cepar raja manusia memanggil raja emas dan diperintahkan agar dengan emas yang ada padanya membeli beras sebanyak-banyaknya untuk raja dan rakyat.
    Dengan emasnya yang berlimpah raja emas mau membeli beras, tetapi seluruh negeri tidak ada beras. Tahulah sekarang raja manusia bahwa padi lebih berharga daripada emas, pangan lebih penting daripada perhiasan.
    Dari dongeng tentang emas dan padi di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa makanan atau pangan menjadi kebutuhan hidup manusia yang lebih penting bila dibandingkan dengan perhiasan atau kedudukan (raja). Dengan kekayaan yang berlimpah, dengan pangkat dan kedudukan yang tinggi tidak menjadi jaminan kita hidup, bila di sekitar kita tidak tersedia pangan. Tentulah kita akan menjadi sangat kelaparan seperti halnya Raja Manusia dalam dongeng di atas.
***
    Ada sebuah peribahasa yang mengatakan, "hendaklah kita seperti padi, semakin berisi semakin merunduk." Maksud dari peribahasa di atas adalah orang yang cerdik cendekia, makin tinggi derajatnya makin merendah atau rendah hati kepada siapa pun.
Bukan justru "seperti padi hampa, makin lama makin mencongak". Maksud peribahasa tersebut adalah, orang yang bodoh semakin lama justru semakin sombong. (Daryanto, Sigit, hal. 76).
    Petani dan padi adalah sebuah pribadi yang luar biasa. Mereka begitu berjasa bagi kelangsungan hidup hampir seluruh mahluk hidup di muka bumi ini. Namun mereka tetap sederhana dan tampil apa adanya; tidak neko-neko. Petani selalu belajar dari tanaman padi yang dihasilkannya. Petani sangat paham, jika padi-padi mereka mulai merunduk maka hal itu menjadi tanda bagi para petani bahwa padi-padi mereka mulai berisi. Semakin bernas, semakin merunduk pula batang-batang padi. Dan batang-batang padi yang tetap berdiri tegak dengan congkak justru tanaman padi yang tak berisi, kosong, hampir tanpa arti. Nasib padi sombong tanpa isi akan sama dengan pohon ara yang tidak berbuah. Pemilik padi akan kecewa lalu memotongnya dan membakarnya atau memberikannya pada ternaknya.
    "Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya. Lalu ia berkata pada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang ,mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! (Lukas, 13:6-7).
    Falsafah padi "kian berisi kian merunduk" itulah yang diturut petani. Meski pun mereka tahu bahwa hasil panen mereka sangat dibutuhkan dan dicari orang, tetapi mereka tidak pernah menuntut lebih. Tidak pernah seenaknya mempermainkan harga padi sehingga penyengsarakan banyak orang. Petani tetaplah orang-orang yang bersahaja dalam tutur kata dan penampilan. Rendah hati dan penuh belas kasih pada sesama.
    

Thursday 11 February 2010

SAHABAT

SAHABAT

Kaukah sahabat?
Yang meskipun tak mengenalku
Kau memberiku penghiburan saat ku sedih
Kau memberiku pengharapan dan peneguhan
Saat kuputus asa dan hampir kehilangan akal?

Kaukah sahabat?
Yang tak menganggapku sebagai orang asing
Meski aku telantar dan terbuang
Kau memberiku harapan akan hari kelak
Yang lebih baik.

Kaukah sahabat?
Yang tetap bersamaku walau aku jatuh
Tersungkur dan tak berdaya
Menopangku agar kembali tegak
Dengan kasih, kesabaran, dan pengertian
Dan tak membiarkanku berjuang sendirian.