Wednesday 15 February 2012

KERIKIL KECIL

KERIKIL KECIL

Segelintir kerikil kecil
Menggelinding di jalan-jalan raya
Hitam beraspal
Yang sesak dan padat
Serta penuh debu

Dia hanya bisa menggelinding
Di sela hiruk pikuknya kehidupan
Ia tidak mampu berontak
Apalagi menolak
keganasan kehidupan ini

    Menjadi orang kecil, miskin, dan telantar tidaklah mudah. Terlebih di tengah kehidupan yang kian padat dan ramai, serta kompleks ini. Orang-orang kecil yang sudah berdiri jauh di pinggir pun masih harus menerima nasib semakin tersingkir. Itulah sebabnya mereka sering juga disebut kaum marjinal atau kaum pinggiran. Kaum yang secara tidak sadar harus selalu siap digusur dan diusir dari tanah mereka sendiri.
    Tak jarang orang-orang kecil menjadi objek pelecehan atau penghinaan. Tak mendapat pelayanan atau perlakuan yang sewajarnya adalah hal biasa. Bahkan tak jarang mereka menjadi bulan-bulanan atau menjadi kambing hitam atas segala “kejahatan” yang ada di masyarakat.
    Ambilah sebuah contoh bahwa menjadi orang miskin sering tidak mendapat pelayanan yang sewajarnya. Sebut saja Pak Mahmud salah seorang warga Cakrawala Baru yang karena kemiskinannya ia bersama keluarganya terpaksa tinggal di gubug dibawah jalan arteri. Bukanlah sebuah tempat tinggal yang layak tentunya. Ia mempunyai dua orang anak yang keduanya sedang sakit. Oleh seorang dokter yang memeriksanya kedua anak Pak Mahmud dirujuk ke sebuah rumah sakit. Genap lima hari opname di rumah sakit tersebut, kedua anak Pak Mahmud belum juga sembuh, tetapi oleh pihak rumah sakit sudah dipersilakan pulang.
    Dengan berat hati Ismatun dan Husni dibawa pulang ke gubugnya. Sampai di tempat tinggalnya yang memang tidak layak huni, Ismatun dan Husni tidak juga kunjung sembuh. Lalu mereka dirujuk ke sebuah rumahsakit daerah di kota tersebut. Dengan alasan tidak ada tempat, maka Ismatun dan Husni yang anak keluarga miskin itu tidak mendapat pelayanan kesehatan yang sewajarnya.
    Pengalaman yang menimpa Pak Mahmud dan keluarganya hanyalah salah satu contoh kejadian yang menimpa orang miskin. Masih banyak kasus yang lain yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini.
    Siapakah sebenarnya orang kecil, miskin, dan telantar itu? Menurut Pater Dr. Mateus Mali CSSR (Praba, No. 7. April 2005) belum ada batasan yang jelas-jelas jelas untuk menentukan siapa sebenarnya yang dimaksud orang kecil atau orang miskin itu. Dia mencoba merumuskan sebuah definisi sebagai berikut. Orang miskin adalah mereka yang belum atau tidak dapat memenuhi semua kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan dasar yang dimaksudkan adalah sandang, pangan, papan, kesehatan, air bersih, hiburan, dan lain sebagainya.
    Jika boleh memilih, pastilah tidak ada orang yang mau dilahirkan dalam keluarga yang miskin. Terlahir dalam keluarga kaya yang serba ada pastilah dambaan banyak orang. Bahkan ada sebuah pepatah populer yang mengatakan “kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, kalau mati masuk surga.”  Pepatah tersebut menegaskan bahwa hidup mapan secara materi adalah sebuah dambaan.
    Bila kita menengok kembali pada perumpamaan Tuhan Yesus tentang “Orang Kaya dan Lazarus”, maka sangatlah mustahil apa yang kita inginkan melalui ungkapan di atas. Karena dengan tegas Tuhan Yesus menyampaikan bahwa orang kaya tersebut masuk neraka sedangkan Lazarus yang miskin justru masuk surga. Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. (Lukas 16:22-23).
    Dengan mencermati cerita di atas, sebagai orang kecil mungkin kita boleh merasa lega. Mengapa? Karena ternyata Tuhan memperhatikan umat-Nya tidaklah dengan cara pandang manusia, yaitu melihat seseorang dari derajat, pangkat, profesi, dan hartanya. Melainkan lebih melihat eksistensi seseorang dari iman dan kemurnian hati serta jiwanya. Kita boleh saja miskin secara harta duniawi, tetapi tentunya kita tidak boleh miskin hati dan miskin iman.
    Seperti yang digambarkan dalam salib, bahwa salib itu terdiri dari bagian yang  vertikal dan  bagian yang horisontal. Bagian yang vertikal  menggambarkan hubungan manusia  dengan Tuhan Allah sebagai perwujudan dari kekayaan iman, atau manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk religius. Sedangkan  bagian yang horisontal  menggambarkan hubungan kita dengan sesama sebagai perwujudan dari kekayaan hati, atau manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial.

No comments:

Post a Comment