Tuesday 5 February 2019


PEMBALASAN TIKUS

Warga Karang Tega mempunyai kebiasaan membuang bangkai tikus di jalan raya. Mereka belum merasa puas jika tikus-tikus yang berhasil mereka tangkap belum terlindas roda kendaraan yang lalu-lalang di daerah mereka. Sebagian besar warga mempunyai kesepahaman yang sama bahwa tikus-tikus itu memang pantas mati dengan cara demikian. Karena tikus-tikus itu telah mencuri makanan mereka, melobangi dinding mereka, mengotori rumah mereka, dan seabrek alasan lain untuk pembenaran atas sikap mereka pada bangkai-bangkai tikus itu.
Meskipun demikian, tidak semua warga Karang Tega mempunyai kebiasaan membuang bangkai tikus di jalan raya. Salah satu warga yang tidak setuju dengan kebiasaan itu adalah keluarga Pak Kerti. Meskipun tidak setuju, Pak Kerti tidak pernah secara langsung menyampaikan ketidaksetujuannya itu kepada warga. Ia lebih senang melakukan tindakan nyata. Tanpa rasa jijik dan takut, ia mengumpulkan bangkai-bangkai tikus yang dilemparkan warga kemudian menguburnya di pekarangan belakang rumahnya atau di dekat pembuangan sampah yang letaknya juga tak terlalu jauh dengan rumahnya.
Kebiasaan Pak Kerti tersebut tentu saja menarik perhatian warga. Mereka heran mengapa Pak Kerti mau melakukan pekerjaan yang menjijikkan itu. Hingga suatu saat Pak RT mendatangi rumah Pak Kerti dan menanyakan kebiasaan Pak Kerti yang beda dengan warga-warga yang lain itu.
“Pak Kerti, mengapa sih Bapak justru mengambil bangkai-bangkai tikus yang sengaja dibuang warga ke jalan?” tanya Pak RT.
“Maaf Pak RT. Saya merasa kasihan aja dengan tikus-tikus itu.”
“Lho, bukanya tikus kan cuma binatang?” sanggah Pak RT.
“Betul Pak. Tapi tidak sepantasnya kita memperlakukan sampai seperti itu.”
“Pak Kerti, bukankah tikus-tikus itu sudah mengganggu kita semua. Selain itu, tikus-tikus itu juga dapat membawa wabah penyakit yang membahayakan buat kita semua?”
“Iya, Pak RT. Saya paham. Itu sebabnya saya lebih memilih menguburkan bangkai tikus-tikus itu daripada membiarkannya berserakan di jalan. Maaf Pak, bukan maksud saya menggurui. Bukankah kalau dilempar di jalan bangkai tikus itu justru menimbulkan bau yang tidak sedap di lingkungan kita. Selain itu, jika tikus-tikus itu terlindas ban mobil atau motor kemudian tubuhnya remuk dan mengering, maka debunya justru akan terhirup oleh kita? Dan itu justru membahayan kesehatan kita semua.”
“Terserah Pak Kerti sajalah!” Jawab Pak RT sambil meninggalkan rumah Pak Kerti.
Selain Pak RT beberapa warga yang penasaran dengan Pak Kerti juga menanyakan hal yang sama. Dan jawaban Pak Kerti pun selalu sama. Pak Kerti merasa kasihan dengan tikus-tikus yang sudah mati itu. Ia kasihan setiap kali melihat bangkai tikus terlindas roda kendaraan sehingga tubuhnya hancur.
Jadilah hampir setiap hari Pak Kerti membawa peralatan seadanya untuk mengambil bangkai tikus yang dibuang warga ke jalan lalu menguburkannya. Karena kebiasaannya itu juga Pak Kerti mendapat julukan baru, Pak Kerti Tikus. Meskipun ada  nama tikus di belakang namanya, namun Pak Kerti tidaklah seperti tikus-tikus yang lain yang suka makan uang rakyat. Yang sering disebut tikus berdasi.
Hingga suatu ketika peristiwa menghebohkan terjadi di Karang Tega. Entah dari mana asalnya, di suatu pagi buta warga Karang Tega dikejutkan dengan peristiwa aneh. Di rumah-rumah warga berserak bangkai-bangkai tikus. Di halaman rumah, di lantai, di kamar, di kamar mandi, di dapur, di hampir semua sudut ruang rumah warga terdapat bangkai-bangkai tikus dalam berbagai bentuk. Ada yang masih utuh, ada yang sudah remuk badanya. Dan pagi itu benar-benar pagi yang menghebohkan. Ibu-ibu, anak-anak menjerit-jerit ketakutan dan jijik. Mereka tidak pernah menyangka kalau akan mengalami peristiwa yang menghebohkan itu.
Hanya ada satu warga yang rumahnya tetap bersih, yaitu rumah Pak Kerti. Tak satu bangkai tikus pun ada di halaman rumahnya ataupun di dalam rumahnya. Bahkan rumah Pak Kerti nampak lebih bersih dari hari-hari sebelumnya. Ya, karena rumah warga yang lain menjadi sangat kotor oleh bangkai tikus dan bau anyir dari bangkai tikus menyengat di semua sudut Karang Tega.
Kehebohan pagi itu semakin menjadi begitu warga tahu bahwa rumah Pak Kerti terbebas dari bangkai tikus. Mereka mulai berpikir bahwa pastilah Pak Kerti yang telah melemparkan  bangkai-bangkai tikus itu ke rumah mereka. Ya..ya.. itulah kesimpulan mereka.
Warga Karang Tega tak lagi dapat berpikir jernih, bahwa betapa tidak mungkin Pak Kerti yang sudah tua itu melempar bangkai-bangkai tikus di rumah-rumah warga yang sekian banyaknya. Bahkan mereka berbondong-bondong menuju rumah Pak Kerti dengan penuh emosi.
“Pak Kerti...Pak Kerti...keluar!” demikian teriak semua warga.
“Kamu harus tanggung jawab membersihkan semua bangkai tikus di rumah warga.” Teriak warga yang lain dengan lebih lantang.
Dengan langkah pelan dan penuh tanda tanya, Pak Kerti keluar dari rumahnya. Ia nampak terheran-heran melihat banyak sekali warga desa yang berkumpul di depan rumahnya.
“Ada  apa saudara-saudara? Kenapa saudara-saudara berkumpul di depan rumah saya?” tanya Pak Kerti dengan penuh keheranan.
“Ada apa? Jangan pura-pura tidak tahu, Pak Kerti.” Teriak salah satu warga yang kebetulan berada di barisan depan.
“Lho ... lho ... lho ...! Saya memang tidak tahu.” Jawab Pak Kerti semakin bingung.
“Begini, Pak.” Jawab Pak RT yang sedari tadi diam saja. “Pagi ini rumah kami penh dengan bangkai tikus. Hampir di semua tempat ada bangkai tikus dalam berbagai bentuk. Lalu ada salah satu warga yang mengatakan bahwa rumah Pak Kerti tetap bersih tidak seperti rumah kami. Maka kami berpendapat, Pak Kertilah yang telah membuang bangkai-bangkai tikus itu ke rumah kami.”
“Ya ... ya ...!” teriak warga yang lain.
“Sabar ... saudara-saudara!” Teriak Pak Kerti dengan nada semakin heran. “Mana mungkin saya yang sudah setua ini membuang bangkai tikus sebanyak itu di rumah semua warga? Apa untungnya bagi saya melakukan semua itu? Saya tidak melakukannya saudara-saudara!”
“Kalau bukan Pak Kerti lalu siapa? Apakah mungkin bangkai itu datang sendiri ke rumah kami. Atau jangan-jangan ...?”
Semua warga memandang ke arah Pak RT. Semua bengong. Dan tanpa di komando semua warga mengatakan “Jangan-jangan...jangan-jangan...jangan-jangan...!”
Demikianlah pagi itu semakin heboh. Semua orang berbicara sendiri-sendiri “Jangan-jangan! Jangan-jangan! ...”
Melihat situasi yang semakin kacau, Pak Kerti memukul-mukul drum yang ada di depan rumahnya sambil berteriak.
“Diam semua!”
Seperti tersengat listrik, mereka terjaga dari tingkah anehnya. Mereka pun kemudian diam mendengarkan Pak Kerti.
“Saudara-saudara, saya harap mendengarkan saya dulu. Saya yakin kejadian aneh ini ada hubungannya dengan kebiasaan saudara-saudara membuang bangkai tikus di jalan. Mungkin tikus-tikus yang lain ingin membalas dendam pada saudara-saudara semua.” Pak Kerti berhenti sebentar, sambil mengatur nafasnya yang sudah terengah-engah.
“Mari kita berdoa bersama-sama mohon ampun pada Tuhan. Semoga tragedi pagi ini dapat segera berlalu. Dan yang paling penting kita tidak mengulang kebiasaan kurang baik kita.”
Tanpa dikomando semua warga duduk di halaman rumah Pak Kerti. Mereka mengambil sikap doa seperti apa yang disampaikan Pak Kerti.
“Mari saudara-saudara kita berdoa menurut keyakinan kita masing-masing. Berdoa dimulai.”
Dengan khusuk semua warga berdoa. Mereka mohon ampun kepada Tuhan karena telah bersikap semena-mena terhadap sesama makhluk Tuhan.
Luar biasa. Setelah mereka selesai berdoa, secara ajaib bangkai-bangkai tikus yang semula berserakan hilang. Tak ada lagi bangkai tikus di meja makan, di tempat tidur, di kamar mandi, atau pun di halaman. Secara ajaib semua bangkai tikus itu hilang. Seperti juga kemunculannya yang ajaib.   
Mulai saat itu kebiasaan masyarakat Karang Tega menjadi lebih baik. Mereka lebih memperhatikan kebersihan lingkungan. Dari mana bangkai tikus itu berasal? Ke mana bangkai tikus itu menghilang? Mengapa bisa begitu? Itu semua pertanyaan yang sampai saat ini tidak bisa dijawab oleh masyarakat Karang Tega.  
                                                                                                Semarang, Juni 2016


No comments:

Post a Comment