Tuesday 5 February 2019

PENYESALAN KAKEK MARJO

            Sudah satu bulan ini istri Kakek Marjo, Mbok Marjo, terbaring lemah di sebuah rumah sakit di kota. Dari waktu satu bulan itu, waktu tiga minggu dihabiskan di ruang ICU. Ya, keadaannya memang sudah cukup kritis. Penyakit diabet yang dideritanya selama ini telah menyebabkan komplikasi berbagai penyakit. Ginjalnya mulai tidak berfungsi dengan baik, pernapasannya pun tersumbat sehingga harus dibuatkan lubang pernapasan buatan di leher, tensinya pun cenderung tinggi, juga jantungnya tak normal lagi.
Segala upaya telah dilakukan oleh anak-anaknya. Segala daya juga sudah dilakukan oleh dokter rumah sakit tersebut. Setelah tiga minggu terbaring di ruang ICU, akhirnya dokter pun angkat tangan. Namun, dengan pertimbangan tertentu pihak keluarga menawar agar ibunya masih diperbolehkan dirawat di rumah sakit itu. Tentu  saja dengan konsekuensi harus keluar biaya lebih banyak lagi.
Tapi yang lebih menyedihkan, selama Mbok Marjo di rumah sakit, belum sekalipun Kakek Marjo menjenguknya. Bukan karena Kakek Marjo tidak mau, ia sangat ingin menjenguk istrinya yang ia cintai. Yang telah menemani hidupnya dalam untung dan malang selama ini. Tapi anak-anaknya selalu melarangnya. Bahkan setiap kali Kakek Marjo menanyakan kondisi istrinya, anak-anaknya selalu mengatakan bahwa Mbok Marjo sudah sehat. Sebentar lagi juga pulang.
Pernah suatu hari Kakek Marjo melontarkan keinginannya untuk ikut membesuk istrinya.
“Tumi, mbok saya tak ikut nengok simbokmu di rumah sakit.”
“Bapak di rumah saja. Simbok sudah sehat. Lagian jalan masuk ke rumah sakit jauh nanti Bapak malah sakit. Kalau Bapak sakit siapa yang repot? Aku juga kan?”
“Tapi aku...”
“Sudah! Bentar lagi simbok juga pulang. Bapak di rumah aja berdoa untuk simbok!”
Demikian setiap kali Tuminah dan saudara-saudaranya selalu berbohong atas kondisi ibunya kepada bapaknya. Mereka berpikir jika Pak Marjo ikut ke rumah sakit, atau tahu kondisi Mbok Marjo yang sebenarnya Pak Marjo akan shok dan jatuh sakit. Maka mereka sepakat untuk berbohong tentang kondisi ibunya.
Satu hal yang tidak mereka ketahui adalah ikatan batin Mbok Marjo dan Pak Marjo sebagai suami istri puluhan tahun begitu kuat. Dalam kebisuan di pembaringan rumah sakit, Mbok Marjo sebenarnya selalu berharap untuk bisa bertemu dengan suaminya. Sementara itu Pak Marjo pun sangat ingin bertemu dengan istrinya. Tapi seperti ada benteng yang kuat yang menghalangi keinginan mereka untuk bertemu. Entah apa yang sebenarnya terjadi sehingga anak-anak mereka begitu kekeh untuk tidak mengijinkan Pak Marjo menjenguk istrinya. Apakah ada hubungannya dengan peristiwa sekian tahun yang lalu?
Waktu itu Tuminah masih belia. Ia jatuh cinta pada salah satu karyawan Pak Marjo. Karena perbedaan status maka hubungan cinta mereka dilarang oleh orang tuanya. Terlebih Mbok Marjo. Ia tidak ingin anaknya hanya mendapatkan karyawannya sendiri. Tapi cinta memang buta, Tuminah tetap menjalin asmara dengan lelaki itu. Dan pada akhirnya, Pak Marjo dan istrinya pun harus mengalah dan terpaksa merestui hubungan mereka.
Apakah ada hubungannya peristiwa yang dialami Pak Marjo dan Mbok Marjo dengan peristiwa itu? Hanya Tuhan yang tahu.
Benar juga apa yang dikatakan Tuminah dan saudara-saudaranya bahwa simboknya segera pulang. Mbok Marjo pun akhirnya pulang untuk bertemu dengan Pak Marjo. Hanya saja kepulangannya kali ini diantar dengan ambulan jenazah.
Ya, Mbok Marjo sudah menyelesaikan tugasnya di dunia. Walau di akhir hayatnya ia terpaksa menunggu kekasih hatinya yang tak kunjung menjenguknya. Akhirnya Mbok Marjo pun tak lagi kuasa menanti, maka pulanglah ia dalam kebekuan yang dingin dalam kematian yang pasti.
“Jadi kalian selama ini sudah bohong pada Bapakmu!” Demikian hal yang terucap dari mulut Pak Marjo begitu tahu istrinya sudah meninggal. Air matanya mengalir deras dari kedua matanya yang sudah mulai rabun dan meluncur dikeriput kulit wajahnya. Ia begitu terpukul dan berduka.
Anak-anaknya yang selama ini memiliki sejuta alasan untuk melarang Pak Marjo menjenguk Bu Marjo kehabisan kata-kata. Mereka terdiam sambil terus meneteskan air mata duka dan penyesalan serta rasa bersalah. Tapi semua sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur. Yang tinggal adalah kebekuan jasad Mbok Marjo dan hati Pak Marjo.
***
Tiba-tiba Pak Marjo teringat masa-masa muda dulu. Masa di mana Pak Marjo dan Mbok Marjo berjuang bersama mengarungi bahtera rumah tangga. Ia masih ingat betul saat usahanya berjaya. Pak Marjo memiliki usaha di bidang transportasi, sedangkan Mbok Marjo memiliki usaha dagang. Karena usaha mereka itu pulalah yang akhirnya mempertemukan dan mempersatukan mereka.
Awalnya Mbok Marjo yang memiliki nama asli Suminten hanyalah pelanggan Pak Marjo yang menjadi pengemudi angkot. Karena sering bertemu dan bergaul itulah membuat Marjo dan Suminten saling jatuh cinta. Bak gayung bersambut, cinta mereka pun mendapat restu dari orang tua masing-masing.
***
Lamunan Pak Marjo pun buyar seiring dengan segera akan diberangkatkan jenazah Mbok Marjo ke pemakaman. Dengan tertatih-tatih Pak Marjo ikut mengantar istrinya ke pemakaman. Anak-anaknya tak satupun yang berani melarangnya. Mereka diam dalam kebisuan di antara lantunan doa-doa para pengantar jenazah.
Segala sakit dan segala derita Mbok Marjo telah sembuh. Ia kini nyenyak dalam tidur panjangnya tanpa mengeluh sakit, tanpa obat, dan tanpa infus. Tinggal Pak Marjo yang meratapi kesendiriannya serta rasa penyesalan karena tidak sempat menjenguk istrinya waktu di rumah sakit.
Hari berganti. Kemurungan hati Pak Marjo tetap berlanjut. Bahkan Pak Marjo tidak mau makan. Segala bujuk rayu anak-anak dan menantunya tak menggoyahkan hatinya yang masgul. Tak ada obat yang mampu mengobati hatinya yang luka. Hanya waktu yang akan menyelesaikan semua perkara.

No comments:

Post a Comment